Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Senin, 19 September 2016

Apakah Al-Qur’an Bagimu?

“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari benakku. Tentu saja aku tak hanya bertanya pada kalian. Bahkan objek utama dari pertanyaanku tersebut adalah diriku sendiri. Ya, diriku sendiri. Diri yang telah lama merindu siraman sejuk dari firman-Nya. Diri yang waktunya telah tersibukkan oleh dunia, hingga tak ada lagi sisa untuk merenungi kalam-Nya. Diri yang telah terlalu lama bergelimang noda, hingga tak kuasa bahkan untuk membuka surat cinta-Nya.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu menyeruak begitu saja di tengah padatnya jalanan. Menuntut jawaban di tengah hiruk-pikuk aktivitas dunia. Seolah begitu menusuk. Seolah begitu mencekam. Seolah begitu….. menyakitkan.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Aku tergeragap. Berusaha memutar otak, mencari jawaban yang tepat. Ah, tampaknya bukan jawaban tepat yang kucari. Tapi jawaban yang jujur, dari lubuk hatiku. Maka aku menggumam, berusaha merapal jawaban hatiku. Namun apa daya, mulutku tak kuasa menjawabnya. Ia hanya menggumamkan obrolan sia-sia, caci maki, dan keluh-kesah. Tak lupa canda tawa, senda gurau, dan ghibah turut digumamkan. Adakah waktu untuknya menggumamkan jawaban tersebut? Entahlah.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Aku tercekat. Baiklah, jika mulutku bungkam, biarlah hatiku yang menjawab. Maka hatiku mulai berkelana, mencari kepingan-kepingan jawaban yang tersebar di memori.
Adakah ia kuanggap sebagai benda sakral belaka? Tak ada bedanya dengan keris ‘sakti’, hanya dikagumi, tanpa direnungi dan dimengerti.
Adakah ia kuanggap sebagai hiasan saja? Menjadi dekorasi tambahan untuk rak buku yang mulai berdebu karena jarang disentuh.
Adakah ia kuanggap sebagai bahan perayaan semata? Hanya kutengok ia saat acara pernikahan, tahlilan, dan hajatan lainnya. Atau hanya sebagai piala? Yang dikejar sebagai ajang pamer prestasi dan prestise belaka.
“Jadi itu sajakah arti Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu berubah, lebih menusuk. Aku tergugu. Menangis. Berusaha mengais memori yang tersisa, mencari makna lain dari Al-Qur’an bagiku. Namun sia-sia. Tak ada lagi yang tersisa, kecuali nestapa. Baru kali ini aku merasa begitu lemah, tak berdaya. Semua benda-benda dunia yang kukumpulkan tak lagi berarti di hadapan pertanyaan ini.
“Iqra, bismirabbikalladzii khalaq. Bukankah itu yang Tuhanmu Firmankan?” tutur sebuah suara. Aku terpana. Seolah baru pertama kali mendengar ayat tersebut. “Bacalah… dengan nama Tuhanmu. Bacalah… untuk mengenal Tuhanmu,” lanjut suara tersebut. Kuarahkan pandangan pada sumber suara. Lalu kulihat bayangan diriku saat masih remaja. Begitu polos, begitu bersih. Kemudian ia menggumam kembali,”Al-Qur’an adalah sarana untuk mengenal dan mengingat-Nya. Maka barangsiapa mengingat-Nya, niscaya hatinya akan tenang. Dan pada jiwa yang tenang, Allah akan memanggilnya dengan lembut.”
Pertanyaan yang berkecamuk perlahan mereda setelah jawaban tersebut. Maka, ya, sekarang Al-Qur’an bagiku adalah sarana untuk mengingat-Nya. Agar kelak Allah memanggilku dengan lembut,”Wahai jiwa yang tenang… Mari, masuklah ke dalam surga-Ku…”
Lalu aku termenung. Menyadari, alangkah mencekamnya jika pertanyaan itu terlontar bukan dari diriku. Namun, dari Munkar dan Nakir saat di alam barzakh. Sanggupkah aku menjawabnya, saat mulut dikunci dan anggota tubuh lain bersaksi?
Adakah jawaban terakhirku tadi adalah jawaban yang jujur? Semoga iya. Aamiin

M.J. Al Fatih
22.25 WIB

Menjelang ke peraduan

Selasa, 01 Januari 2013

Ketika Futur Melanda

Dalam keseharian kita, tentu ada saat di mana kita bersemangat –bahkan sangat bersemangat- dalam mengerjakan amal ibadah. Namun, tentu ada pula saat di mana kita menjadi jenuh, bosan, bahkan hingga tahap malas dalam melaksanakan ibadah. Hal ini sebenarnya telah digambarkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:
 “Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barangsiapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam sunnah (petunjuk) ku, maka dia telah beruntung. Namun barangsiapa yang beralih kepada selain itu, berarti dia telah celaka.” (Musnad Imam Ahmad, 2/158-188. dan ada pula hadist yang sejalan maknanya dari Abu Hurairah, pada kitab Shahih Al-Jami’ As-Shaghir, no. 2147)
Perasaan-perasaan bosan, jenuh, malas melaksanakan ibadah ini dikenal sebagai futur dalam Islam. “Futur”, begitu tulis Ibnu Al-Atsir dalam An-Nihayah fii Gharib Al-Hadits, “adalah segala kegiatan diam, menyedikitnya porsi ibadah, dan berkurangnya semangat.”
So, jika suatu waktu kita merasa sulit sekali untuk mendirikan sholat –baik fardhu maupun sunnah-, atau malas sekali mengikuti liqo’/majelis ilmu, atau jenuh banget membaca Al-Qur’an, ketahuilah, futur tengah melanda diri kita.
Lalu, gimana dong kalau kita sedang terkena futur? Well, hadits di atas sepertinya sudah cukup memberikan jawaban. Ketika kita sedang lemah, atau dalam keadaan futur, usahakanlah tetap berada di jalur yang benar, yakni jalur kebaikan. Tetap kendalikan diri kita. Jangan sampai terjerumus dalam perbuatan-perbuatan dosa yang justru memperburuk keadaan.
Nah, agar tak mudah terjangkit futur ini, kita perlu tahu nih penyebab futur, agar kita dapat mengantisipasi penyebab-penyebab ini. Sebenarnya, ada banyak penyebabnya, namun karena keterbatasan ilmu saya, saya akan menyebutkan beberapa saja: Ekstrem/berlebihan dalam ibadah, masuknya sesuatu yang haram/syubhat ke dalam tubuh kita, menyepelekan kewajiban harian, berlarut-larut dalam perbuatan maksiat, serta meremehkan dosa-dosa kecil. Inilah beberapa penyebab yang ‘mengundang’ futur ke dalam diri kita.  
Ok, finally, sampai sini saja pembahasan saya mengenai futur, yang tentunya masih sangat jauh dari lengkap dan sempurna. Afwan jika terdapat kesalahan pada postingan sederhana ini. Semoga bermanfaat :)
Sumber inspirasi:

Selasa, 09 Oktober 2012

Kejujuran Yang Terasing



           Tak dapat dipungkiri, pendidikan adalah elemen yang sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sebuah negara. Oleh karenanya, berbagai negara berlomba-lomba merumuskan sebuah sistem pendidikan yang paling efektif untuk negaranya.
            Indonesia, dengan sistem pendidikannya, terus berupaya untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang unggul di bidangnya masing-masing. Dengan begitu, Indonesia dapat bersaing di kancah internasional. Namun, dewasa ini, sebuah pertanyaan muncul: “Dalam setahun, Indonesia menghasilkan beratus ribu sarjana. Mengapa negara ini sangat lambat perkembangannya, padahal SDM (sarjana) yang tersedia begitu berlimpah?”
            Apakah sebab fenomena tersebut? Jika direnungkan, sebabnya adalah kurang kompetennya sarjana yang dihasilkan Indonesia. Apa sebab kurang kompetennya sarjana Indonesia? Jawabannya sederhana: menyontek.
            Menyontek kini telah menjamur di sekolah-sekolah Indonesia. Perbuatan terlarang yang sejatinya menuntun pada tindak korupsi tersebut, seolah menjadi legal karena dibiarkan saja oleh guru. Para siswa, sejak SD –atau bahkan TK- telah dibentuk pola pikir bahwa “Yang dapat nilai 90 lebih pintar dan akan lebih sukses dibandingkan yang dapat nilai 60”. Pendeknya, nilai adalah segalanya. Yang nilainya bagus, ia yang akan sukses. Pola pikir inilah yang nantinya akan membuat siswa terus mengejar nilai tanpa memahami isi materi itu sendiri. Jika pesimis nilai KKM dapat tercapai, akhirnya menghalalkan segala cara. Dan, menyontek hanya salah satu dari cara-cara haram tersebut.
            Nilai adalah segalanya. Motto inilah yang akhirnya hanya menghasilkan sarjana yang tidak kompeten, pemimpin yang gemar korupsi, wakil rakyat yang suka menipu, atau –dalam skala kecil- orang yang tidak jujur.
Kini, kejujuran hanya kata belaka. Terasing di bawah bayang-bayang kata “kelulusan”. Tak ada bukan, ketika akan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebuah tes kejujuran? Yang dilihat, sekali lagi, “nilai” tes masuknya, atau “lulus atau tidaknya” siswa tersebut. Tanpa memandang cara yang dipakai siswa dalam meraih nilainya.
Meski demikian, saya yakin, lumayan banyak orang-orang di luar sana yang jujur. Meski tersembunyi gemerlap semu orang-orang curang, ia tetap tegar, bersahaja, dan menjadi pelita bagi orang lain.
            Pada akhirnya, fakta menunjukkan, kejujuran hanya pahit di awal. Sedangkan kecurangan, kebohongan, hanya manis di awal. Jika dikaitkan ke ajaran agama, Rasulullah adalah sosok ideal dari orang yang mengimplementasikan kejujuran dalam kesehariannya. Sukseskah ia? Sangat. Terasingkah ia? Ya, pada awalnya. Pada akhirnya, seluruh manusia menaruh hormat pada beliau.
Barangkali, kejujuran adalah hal yang sepele bagi sebagian orang, namun lihatlah, kejujuran adalah pondasi utama yang menopang manusia dalam mengarungi samudera kehidupannya. Oleh karena itu, mari, kita rawat kejujuran kita, demi eksistensi bangsa kita, dan demi kesuksesan kita serta orang lain.

Rabu, 25 Juli 2012

Mari Doakan Mereka dan Diri Kita


             Astaghfirullah. Begitu perih hati ini melihat muslimah dengan santainya berjalan tanpa menutup auratnya. Begitu pilu diri ini melihat pacaran sudah menjadi hal yang biasa, bahkan membanggakan. Begitu tersayat hati ini melihat musik-musik jahiliyyah jauuuuh lebih digandrungi dibanding lantunan ayat suci Al-Qur'an. Menitik air mata ini, melihat Islam makin dijauhi, bukan hanya oleh non-muslim, tapi juga dari kalangan muslim sendiri!
                Astaghfirullah. Hanya kata itu mungkin yang dapat saya ucapkan, ketika melihat fenomena dan realita umat Islam zaman ini. Tak adakah lagi sosok yang imannya sekokoh -atau mendekati- Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang membenarkan segala perkataan Rasulullah? Tak adakah lagi sosok pemimpin sesederhana Umar ibn Khattab? Tak adakah lagi sosok segigih Ahmad ibn Hanbal melawan aliran sesat   -saat itu aliran sesatnya adalah paham Mu'tazilah-? Tak ada? Semoga ini hanya pendapat dari sudut pandang saya saja.
                Realita di atas, kini, saudaraku, disadari atau tidak, telah merasuk ke dalam sanubari negeri kita tercinta. Berbagai bencana alam yang menimpa kita, barangkali adalah teguran untuk kita. Ya, teguran. Bukan lagi sekedar ujian. Dan semoga tidak berwujud azab nantinya. Na'udzubillahi min dzaalik.
                Lihatlah negeri kita saudaraku. Berbagai kekejian umat-umat terdahulu telah dilakukan muslim di negeri ini. Korupsi dan kecurangan ala penduduk Madyan. Lalu, homoseksual dan lesbiannya kaum Nabi Luth juga kini telah ada di negeri ini. Bahkan, mereka -kaum Nabi Luth- mengolok-olok Nabi Luth dan pengikutnya sebagai orang-orang yang 'sok suci' (cek QS. Al-A'raaf ayat 82). Lihatlah, adakah tanda-tanda ini telah muncul di negeri kita?
                Kitapun telah mengikuti kaum Tsamud, di mana gedung-gedung telah menjulang, namun membangkang dari perintah Allah. Bahkan, yang lebih parah lagi, kaum Tsamud ini juga tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat (cek Surah Al-A'raaf: 79). Ada pula kesombongan akut setingkat Fir'aun yang mengaku 'tuhan'. Penyembahan berhala berwujud fashion, liberalisme, sekulerisme, dll, pun telah menggerogoti negeri ini. Masya Allah.
                Astaghfirullah. Lagi-lagi kata itu yang terlontar dari mulutku. Kemaksiatan umat-umat terdahulu, kini berkumpul di negeri kita. Maka, ini adalah tugas kita sebagai pengemban amanah dakwah untuk menyelesaikan problematika umat ini. Namun, di satu sisi, saya yakin, di lubuk hati para pelaku maksiat yang terdalam, mereka merindukan taubat. Hanya saja, mungkin, yang mereka butuhkan lebih dari ilmu tentang syariat, atau khutbah tentang surga dan neraka. Atau motivasi untuk beramal dan meninggalkan maksiat. Atau dakwah lewat perilaku. Atau uluran tangan kita.
                Ya, lebih dari itu, mereka membutuhkan doa kita. Kini, mereka sedang dalam track yang salah dan tak berdaya untuk kembali, maka, mereka membutuhkan doa kita agar dikuatkan untuk kembali ke track yang benar.
                Ya, mereka butuh doa kita. Doa tulus dari lisan-lisan kita. Doa yang bukan sekedar memohon ampunan untuk mereka, tapi juga mencakup dibukakan hati mereka untuk menjemput hidayah-Nya. Doa yang rendah hati, dalam tiap-tiap sujud kita, di sepertiga malam terakhir...
                Dan, jangan lupa juga untuk mendoakan diri kita sendiri. Mari berdoa untuk mereka dan diri kita :)
 Wallahu A'lam

Bumi Allah
Menjelang adzan Maghrib

Minggu, 17 Juni 2012

Cinta (Part 1)




 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
            Pernahkah secara usil melintas pertanyaan ini di benak kita: Apa sih sebenarnya cinta itu? Definisinya apa sih? Pernah? Jika ya, mari kita bersama-sama menyimak sajian hikmah tentang cinta yang bertebaran… Jika tidak, tetap disimak ya, biar ngerti apa arti dari makhluk Allah yang satu ini, ^_^
            Tentang cinta, dari dulu sampai sekarang, para pakar telah mencoba mendefinisikannya. Namun, oh, ternyata tak mudah nampaknya. Mereka akhirnya bersepakat mengartikan cinta dalam rampai kalimat berikut ini: “Cinta tidak memiliki definisi. Andalah yang memberikan definisinya”. Kalimat ini pernah diutarakan Deddy Corbuzier dalam talkshow Hitam Putih-nya Trans7. Atau, opini Ustadz Anis Matta dalam Serial Cinta-nya bisa menjadi bahan pertimbangan.
            “Barangkali kita memang tidak perlu definisi –tentang cinta, pen.-. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena –kemudian- semua keajaiban terjawab di sana.”
            Atau masih bingung dengan uraian di atas? Baiklah, saya masih punya satu nukilan lagi, nih. “Cinta adalah”, begitulah Ibnul Qoyyim membuka kalimatnya,”gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya”. Mungkin pendapat ketigalah yang paling simple. Namun, itulah cinta. Kerumitannya itulah daya tariknya. Maka ia seolah tak pernah habis dibahas. “Obrolan sepanjang masa”, begitu Anis Matta mengistilahkan.
            Karena itulah, legenda Romeo-Juliet, kisah Layla Majnun, Taj Mahal, Rabi’ah Al-Adawiyah begitu melegenda, begitu abadi. Sebabnya simple: Karena ia berlatar cinta.
****
            Jika dimisalkan zat, cinta dapat berupa api. Dalam kadar tertentu, ia menghangatkan. Tetapi, dalam kadar yang lain, ia dapat membakar dan menghanguskan. Atau seperti air. Ia menjadi sumber kehidupan jika terus mengalir. Namun, ia dapat menjadi air bah yang menghanyutkan. Atau menjadi sumber penyakit apabila ia terus menggenang tak bergerak.
            Sebegitu dahsyatnya cinta. Ia mampu mengeluarkan potensi-potensi diri manusia. Lalu, ia lipatgandakan. Bahkan mungkin hingga batas maksimal. Mau bukti? Tengoklah Abu Bakar. Begitu panggilan jihad datang dan memerlukan dana yang cukup banyak, beliau menawarkan hartanya. “Yaa Rasulullah”, begitu panggilnya “Aku infakkan seluruh hartaku di jalan Allah!”. “Apa yang kau sisakan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?”, tanya Rasulullah. Sebelum melanjutkan kisahnya, mari kita lihat sejenak, betapa Abu Bakar begitu mencintai agama ini hingga ia mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ia tawarkan dirinya untuk berperang dan –tak tanggung-tanggung- seluruh hartanya! Masya Allah. Dan mari simak jawaban bersahaja Abu Bakar ini,”Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka”. Subhanallah. Dan gelora cinta ini ‘memaksa’ Umar ibn Khattab berkata lirih,”Aku tak akan mampu menyaingi amal ibadah Abu Bakar…”
            Lalu, bagaimana dengan kita? Mari kita mulai dengan mencintai Allah, lalu Rasul-Nya, dan para sahabatnya agar dapat meneladani mereka dan –semoga- dapat membersamai mereka kelak di akhirat sesuai sabda indah Rasulullah,”Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya…”
****
            Zammiluunii… zammiluunii… Selimuti aku… selimuti aku…”,lirih Rasulullah berucap setelah untuk pertama kalinya menerima wahyu. Khadijah, istri tercinta, segera menyelimuti beliau dengan penuh cinta, penuh kasih sayang. Sepenggal episode awal penyebaran Islam ini begitu menyentuh. Ada pertanyaan menarik di sini: Mengapa istri pertama Rasulullah adalah Khadijah, seorang janda kaya raya berumur 40-an? Jawabannya sederhana: Rasulullah membutuhkan kasih sayang keibuan yang dimiliki Khadijah untuk meletakkan pondasi dakwah Islam. Rasulullah membutuhkan pendamping yang menenangkan dan menguatkan beliau.
            Dan inilah rahasianya: peradaban Islam bisa menjadi lentera di 2/3 dunia kala itu karena dibangun dengan landasan cinta. Cinta yang agung, kepada Allah, Sang Pencipta cinta. Wallahu A’lam.
-Insya Allah bersambung… :)-