Tak dapat dipungkiri, pendidikan
adalah elemen yang sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sebuah negara.
Oleh karenanya, berbagai negara berlomba-lomba merumuskan sebuah sistem
pendidikan yang paling efektif untuk negaranya.
Indonesia,
dengan sistem pendidikannya, terus berupaya untuk menghasilkan sarjana-sarjana
yang unggul di bidangnya masing-masing. Dengan begitu, Indonesia dapat bersaing
di kancah internasional. Namun, dewasa ini, sebuah pertanyaan muncul: “Dalam
setahun, Indonesia menghasilkan beratus ribu sarjana. Mengapa negara ini sangat
lambat perkembangannya, padahal SDM (sarjana) yang tersedia begitu berlimpah?”
Apakah
sebab fenomena tersebut? Jika direnungkan, sebabnya adalah kurang kompetennya
sarjana yang dihasilkan Indonesia. Apa sebab kurang kompetennya sarjana
Indonesia? Jawabannya sederhana: menyontek.
Menyontek
kini telah menjamur di sekolah-sekolah Indonesia. Perbuatan terlarang yang
sejatinya menuntun pada tindak korupsi tersebut, seolah menjadi legal karena
dibiarkan saja oleh guru. Para siswa, sejak SD –atau bahkan TK- telah dibentuk
pola pikir bahwa “Yang dapat nilai 90 lebih pintar dan akan lebih sukses
dibandingkan yang dapat nilai 60”. Pendeknya, nilai adalah segalanya. Yang
nilainya bagus, ia yang akan sukses. Pola pikir inilah yang nantinya akan
membuat siswa terus mengejar nilai tanpa memahami isi materi itu sendiri. Jika
pesimis nilai KKM dapat tercapai, akhirnya menghalalkan segala cara. Dan,
menyontek hanya salah satu dari cara-cara haram tersebut.
Nilai
adalah segalanya. Motto inilah yang akhirnya hanya menghasilkan sarjana yang
tidak kompeten, pemimpin yang gemar korupsi, wakil rakyat yang suka menipu,
atau –dalam skala kecil- orang yang tidak jujur.
Kini, kejujuran hanya
kata belaka. Terasing di bawah bayang-bayang kata “kelulusan”. Tak ada bukan,
ketika akan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebuah tes
kejujuran? Yang dilihat, sekali lagi, “nilai” tes masuknya, atau “lulus atau
tidaknya” siswa tersebut. Tanpa memandang cara yang dipakai siswa dalam meraih
nilainya.
Meski demikian, saya
yakin, lumayan banyak orang-orang di luar sana yang jujur. Meski tersembunyi
gemerlap semu orang-orang curang, ia tetap tegar, bersahaja, dan menjadi pelita
bagi orang lain.
Pada
akhirnya, fakta menunjukkan, kejujuran hanya pahit di awal. Sedangkan
kecurangan, kebohongan, hanya manis di awal. Jika dikaitkan ke ajaran agama,
Rasulullah adalah sosok ideal dari orang yang mengimplementasikan kejujuran
dalam kesehariannya. Sukseskah ia? Sangat. Terasingkah ia? Ya, pada awalnya.
Pada akhirnya, seluruh manusia menaruh hormat pada beliau.
Barangkali, kejujuran
adalah hal yang sepele bagi sebagian orang, namun lihatlah, kejujuran adalah
pondasi utama yang menopang manusia dalam mengarungi samudera kehidupannya.
Oleh karena itu, mari, kita rawat kejujuran kita, demi eksistensi bangsa kita,
dan demi kesuksesan kita serta orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar