“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu terlontar begitu
saja dari benakku. Tentu saja aku tak hanya bertanya pada kalian. Bahkan objek
utama dari pertanyaanku tersebut adalah diriku sendiri. Ya, diriku sendiri. Diri
yang telah lama merindu siraman sejuk dari firman-Nya. Diri yang waktunya telah
tersibukkan oleh dunia, hingga tak ada lagi sisa untuk merenungi kalam-Nya. Diri
yang telah terlalu lama bergelimang noda, hingga tak kuasa bahkan untuk membuka
surat cinta-Nya.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu menyeruak begitu
saja di tengah padatnya jalanan. Menuntut jawaban di tengah hiruk-pikuk
aktivitas dunia. Seolah begitu menusuk. Seolah begitu mencekam. Seolah begitu…..
menyakitkan.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Aku tergeragap. Berusaha memutar
otak, mencari jawaban yang tepat. Ah, tampaknya bukan jawaban tepat yang
kucari. Tapi jawaban yang jujur, dari lubuk hatiku. Maka aku menggumam, berusaha
merapal jawaban hatiku. Namun apa daya, mulutku tak kuasa menjawabnya. Ia hanya
menggumamkan obrolan sia-sia, caci maki, dan keluh-kesah. Tak lupa canda tawa,
senda gurau, dan ghibah turut digumamkan. Adakah waktu untuknya menggumamkan
jawaban tersebut? Entahlah.
“Apakah Al-Qur’an bagimu?” Aku tercekat. Baiklah, jika
mulutku bungkam, biarlah hatiku yang menjawab. Maka hatiku mulai berkelana,
mencari kepingan-kepingan jawaban yang tersebar di memori.
Adakah ia kuanggap sebagai benda sakral belaka? Tak ada
bedanya dengan keris ‘sakti’, hanya dikagumi, tanpa direnungi dan dimengerti.
Adakah ia kuanggap sebagai hiasan saja? Menjadi dekorasi
tambahan untuk rak buku yang mulai berdebu karena jarang disentuh.
Adakah ia kuanggap sebagai bahan perayaan semata? Hanya
kutengok ia saat acara pernikahan, tahlilan, dan hajatan lainnya. Atau hanya
sebagai piala? Yang dikejar sebagai ajang pamer prestasi dan prestise belaka.
“Jadi itu sajakah arti Al-Qur’an bagimu?” Pertanyaan itu
berubah, lebih menusuk. Aku tergugu. Menangis. Berusaha mengais memori yang
tersisa, mencari makna lain dari Al-Qur’an bagiku. Namun sia-sia. Tak ada lagi
yang tersisa, kecuali nestapa. Baru kali ini aku merasa begitu lemah, tak
berdaya. Semua benda-benda dunia yang kukumpulkan tak lagi berarti di hadapan
pertanyaan ini.
“Iqra, bismirabbikalladzii khalaq. Bukankah itu yang Tuhanmu
Firmankan?” tutur sebuah suara. Aku terpana. Seolah baru pertama kali mendengar
ayat tersebut. “Bacalah… dengan nama Tuhanmu. Bacalah… untuk mengenal Tuhanmu,”
lanjut suara tersebut. Kuarahkan pandangan pada sumber suara. Lalu kulihat
bayangan diriku saat masih remaja. Begitu polos, begitu bersih. Kemudian ia menggumam
kembali,”Al-Qur’an adalah sarana untuk mengenal dan mengingat-Nya. Maka
barangsiapa mengingat-Nya, niscaya hatinya akan tenang. Dan pada jiwa yang
tenang, Allah akan memanggilnya dengan lembut.”
Pertanyaan yang berkecamuk perlahan mereda setelah jawaban
tersebut. Maka, ya, sekarang Al-Qur’an bagiku adalah sarana untuk
mengingat-Nya. Agar kelak Allah memanggilku dengan lembut,”Wahai jiwa yang
tenang… Mari, masuklah ke dalam surga-Ku…”
Lalu aku termenung. Menyadari, alangkah mencekamnya jika
pertanyaan itu terlontar bukan dari diriku. Namun, dari Munkar dan Nakir saat
di alam barzakh. Sanggupkah aku menjawabnya, saat mulut dikunci dan anggota
tubuh lain bersaksi?
Adakah jawaban terakhirku tadi adalah jawaban yang jujur?
Semoga iya. Aamiin
M.J. Al Fatih
22.25 WIB
Menjelang ke peraduan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar