Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Minggu, 17 Juni 2012

Cinta (Part 1)




 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
            Pernahkah secara usil melintas pertanyaan ini di benak kita: Apa sih sebenarnya cinta itu? Definisinya apa sih? Pernah? Jika ya, mari kita bersama-sama menyimak sajian hikmah tentang cinta yang bertebaran… Jika tidak, tetap disimak ya, biar ngerti apa arti dari makhluk Allah yang satu ini, ^_^
            Tentang cinta, dari dulu sampai sekarang, para pakar telah mencoba mendefinisikannya. Namun, oh, ternyata tak mudah nampaknya. Mereka akhirnya bersepakat mengartikan cinta dalam rampai kalimat berikut ini: “Cinta tidak memiliki definisi. Andalah yang memberikan definisinya”. Kalimat ini pernah diutarakan Deddy Corbuzier dalam talkshow Hitam Putih-nya Trans7. Atau, opini Ustadz Anis Matta dalam Serial Cinta-nya bisa menjadi bahan pertimbangan.
            “Barangkali kita memang tidak perlu definisi –tentang cinta, pen.-. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena –kemudian- semua keajaiban terjawab di sana.”
            Atau masih bingung dengan uraian di atas? Baiklah, saya masih punya satu nukilan lagi, nih. “Cinta adalah”, begitulah Ibnul Qoyyim membuka kalimatnya,”gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya”. Mungkin pendapat ketigalah yang paling simple. Namun, itulah cinta. Kerumitannya itulah daya tariknya. Maka ia seolah tak pernah habis dibahas. “Obrolan sepanjang masa”, begitu Anis Matta mengistilahkan.
            Karena itulah, legenda Romeo-Juliet, kisah Layla Majnun, Taj Mahal, Rabi’ah Al-Adawiyah begitu melegenda, begitu abadi. Sebabnya simple: Karena ia berlatar cinta.
****
            Jika dimisalkan zat, cinta dapat berupa api. Dalam kadar tertentu, ia menghangatkan. Tetapi, dalam kadar yang lain, ia dapat membakar dan menghanguskan. Atau seperti air. Ia menjadi sumber kehidupan jika terus mengalir. Namun, ia dapat menjadi air bah yang menghanyutkan. Atau menjadi sumber penyakit apabila ia terus menggenang tak bergerak.
            Sebegitu dahsyatnya cinta. Ia mampu mengeluarkan potensi-potensi diri manusia. Lalu, ia lipatgandakan. Bahkan mungkin hingga batas maksimal. Mau bukti? Tengoklah Abu Bakar. Begitu panggilan jihad datang dan memerlukan dana yang cukup banyak, beliau menawarkan hartanya. “Yaa Rasulullah”, begitu panggilnya “Aku infakkan seluruh hartaku di jalan Allah!”. “Apa yang kau sisakan untuk keluargamu wahai Abu Bakar?”, tanya Rasulullah. Sebelum melanjutkan kisahnya, mari kita lihat sejenak, betapa Abu Bakar begitu mencintai agama ini hingga ia mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ia tawarkan dirinya untuk berperang dan –tak tanggung-tanggung- seluruh hartanya! Masya Allah. Dan mari simak jawaban bersahaja Abu Bakar ini,”Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka”. Subhanallah. Dan gelora cinta ini ‘memaksa’ Umar ibn Khattab berkata lirih,”Aku tak akan mampu menyaingi amal ibadah Abu Bakar…”
            Lalu, bagaimana dengan kita? Mari kita mulai dengan mencintai Allah, lalu Rasul-Nya, dan para sahabatnya agar dapat meneladani mereka dan –semoga- dapat membersamai mereka kelak di akhirat sesuai sabda indah Rasulullah,”Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya…”
****
            Zammiluunii… zammiluunii… Selimuti aku… selimuti aku…”,lirih Rasulullah berucap setelah untuk pertama kalinya menerima wahyu. Khadijah, istri tercinta, segera menyelimuti beliau dengan penuh cinta, penuh kasih sayang. Sepenggal episode awal penyebaran Islam ini begitu menyentuh. Ada pertanyaan menarik di sini: Mengapa istri pertama Rasulullah adalah Khadijah, seorang janda kaya raya berumur 40-an? Jawabannya sederhana: Rasulullah membutuhkan kasih sayang keibuan yang dimiliki Khadijah untuk meletakkan pondasi dakwah Islam. Rasulullah membutuhkan pendamping yang menenangkan dan menguatkan beliau.
            Dan inilah rahasianya: peradaban Islam bisa menjadi lentera di 2/3 dunia kala itu karena dibangun dengan landasan cinta. Cinta yang agung, kepada Allah, Sang Pencipta cinta. Wallahu A’lam.
-Insya Allah bersambung… :)-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar