“Dan di antara manusia
ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
Pernahkah
secara usil melintas pertanyaan ini di benak kita: Apa sih sebenarnya cinta
itu? Definisinya apa sih? Pernah? Jika ya, mari kita bersama-sama menyimak
sajian hikmah tentang cinta yang bertebaran… Jika tidak, tetap disimak ya, biar
ngerti apa arti dari makhluk Allah
yang satu ini, ^_^
Tentang
cinta, dari dulu sampai sekarang, para pakar telah mencoba mendefinisikannya.
Namun, oh, ternyata tak mudah nampaknya. Mereka akhirnya bersepakat mengartikan
cinta dalam rampai kalimat berikut ini: “Cinta
tidak memiliki definisi. Andalah yang memberikan definisinya”. Kalimat ini
pernah diutarakan Deddy Corbuzier dalam talkshow Hitam Putih-nya Trans7. Atau, opini Ustadz Anis Matta dalam Serial Cinta-nya bisa menjadi bahan
pertimbangan.
“Barangkali kita memang tidak perlu definisi
–tentang cinta, pen.-. Toh kita juga
tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu
tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena –kemudian- semua
keajaiban terjawab di sana.”
Atau masih bingung
dengan uraian di atas? Baiklah, saya masih punya satu nukilan lagi, nih. “Cinta adalah”, begitulah Ibnul
Qoyyim membuka kalimatnya,”gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya”.
Mungkin pendapat ketigalah yang paling simple. Namun, itulah cinta.
Kerumitannya itulah daya tariknya. Maka ia seolah tak pernah habis dibahas.
“Obrolan sepanjang masa”, begitu Anis Matta mengistilahkan.
Karena
itulah, legenda Romeo-Juliet, kisah Layla Majnun, Taj Mahal, Rabi’ah
Al-Adawiyah begitu melegenda, begitu abadi. Sebabnya simple: Karena ia berlatar
cinta.
****
Jika
dimisalkan zat, cinta dapat berupa api. Dalam kadar tertentu, ia menghangatkan.
Tetapi, dalam kadar yang lain, ia dapat membakar dan menghanguskan. Atau
seperti air. Ia menjadi sumber kehidupan jika terus mengalir. Namun, ia dapat
menjadi air bah yang menghanyutkan. Atau menjadi sumber penyakit apabila ia
terus menggenang tak bergerak.
Sebegitu
dahsyatnya cinta. Ia mampu mengeluarkan potensi-potensi diri manusia. Lalu, ia
lipatgandakan. Bahkan mungkin hingga batas maksimal. Mau bukti? Tengoklah Abu
Bakar. Begitu panggilan jihad datang dan memerlukan dana yang cukup banyak,
beliau menawarkan hartanya. “Yaa Rasulullah”, begitu panggilnya “Aku infakkan
seluruh hartaku di jalan Allah!”. “Apa yang kau sisakan untuk keluargamu wahai
Abu Bakar?”, tanya Rasulullah. Sebelum melanjutkan kisahnya, mari kita lihat
sejenak, betapa Abu Bakar begitu mencintai agama ini hingga ia mengerahkan
seluruh potensi yang dimilikinya. Ia tawarkan dirinya untuk berperang dan –tak
tanggung-tanggung- seluruh hartanya! Masya Allah. Dan mari simak jawaban
bersahaja Abu Bakar ini,”Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka”.
Subhanallah. Dan gelora cinta ini ‘memaksa’ Umar ibn Khattab berkata lirih,”Aku
tak akan mampu menyaingi amal ibadah Abu Bakar…”
Lalu,
bagaimana dengan kita? Mari kita mulai dengan mencintai Allah, lalu Rasul-Nya,
dan para sahabatnya agar dapat meneladani mereka dan –semoga- dapat membersamai
mereka kelak di akhirat sesuai sabda indah Rasulullah,”Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya…”
****
“Zammiluunii… zammiluunii… Selimuti aku…
selimuti aku…”,lirih Rasulullah berucap setelah untuk pertama kalinya menerima
wahyu. Khadijah, istri tercinta, segera menyelimuti beliau dengan penuh cinta,
penuh kasih sayang. Sepenggal episode awal penyebaran Islam ini begitu
menyentuh. Ada pertanyaan menarik di sini: Mengapa istri pertama Rasulullah adalah
Khadijah, seorang janda kaya raya berumur 40-an? Jawabannya sederhana:
Rasulullah membutuhkan kasih sayang keibuan yang dimiliki Khadijah untuk
meletakkan pondasi dakwah Islam. Rasulullah membutuhkan pendamping yang
menenangkan dan menguatkan beliau.
Dan inilah
rahasianya: peradaban Islam bisa menjadi lentera di 2/3 dunia kala itu karena
dibangun dengan landasan cinta. Cinta yang agung, kepada Allah, Sang Pencipta
cinta. Wallahu A’lam.
-Insya Allah bersambung… :)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar