Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Sabtu, 15 Januari 2011

KADO DARI IBUKU

                Hitam sudah menyelimuti seluruh langit. Sang rembulan sudah sedari tadi bangkit dari peraduannya. Hiruk-pikuk aktivitas pun sudah tak dibunyikan lagi, kecuali oleh beberapa makhluk malam. Aku termasuk makhluk-makhluk malam itu. Baru saja aku pulang dari tempat favoritku, tempat kutumpahkan segala penatku, yaitu diskotik. Aku merasa nyaman di sana. Merasa bebas dari segala kerumitan hidup yang selalu mengekangku. Mabuk-mabukan, nge-drugs, hingga menikmati tubuh wanita kulakukan di sana.
                Mesin motor pun kumatikan ketika aku telah sampai di teras rumahku. Aku pun mengetuk pintu,
                "TOK! TOK! TOK! Bu, buka pintunya! Zaky udah pulang!", ujarku sambil mengetuk pintu.
                "Iya, Nak! Tunggu sebentar!", jawab ibuku. Ibuku pun membuka pintu dan menyalamiku. Namun, aku tak membalas salamnya yang hangat itu. Aku langsung masuk ke rumah tanpa memedulikan ibuku lagi. Ibuku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku itu. Aku heran kepada ibu, beliau tidak pernah menanyakan aku pergi ke mana, hingga sudah semalam ini baru pulang. Namun, hal itu tidak kuambil pusing. Menambah urusan saja!
                Namun, begitu aku masuk ke ruang tengah, adik perempuanku, Tiara, langsung mengampiriku.
                “Hayoo... kakak dari mana? Malam-malam begini baru pulang...”, ujar adikku itu sambil mengembangkan senyum imutnya itu.
                “Kakak banyak acara tadi”, jawabku sekenanya. “Haah... dasar! Baru 15 tahun saja, sudah berani bertanya seperti itu, tidak sopan!”, batinku. Aku langsung masuk ke kamarku dan mengunci pintunya. Kutatap langit-langit kamar dari kasurku. Aku hanya tertegun. Aku berusaha untuk memejamkan mataku. Akhirnya, beberapa menit kemudian, akupun tertidur.
****

                Cahaya matahari yang menghangatkan perlahan masuk melalui ventilasi kamarku. Cahaya itu seolah berusaha membangunkanku. Namun, dengan cepat kutarik selimutku hingga menutupi wajahku, agar cahaya hangat itu tak lagi menggangguku. Namun, suara ketukan pintu plus teriakan ibuku membangunkanku dari tidur lelapku. “Hoaahhm... masih ngantuk banget nih!”, batinku.
                Aku langsung mencuci mukaku. Lalu, bergegas mengganti baju dan menaiki motorku. Meskipun, sedari tadi ibuku sudah mengingatkanku untuk sholat Subuh dan sarapan dulu. Namun, kuacuhkan saja ibuku itu. “Dasar! Umurku sudah 22 tahun, masa’ masih diatur juga?”, batinku. Kulirik kaca spion sebelah kanan. Terlihat bayangan ibu yang hanya mengusap dada melihat kelakuan anak sulungnya itu. Sebetulnya, aku kasihan dengan ibuku. Sejak ayah meninggal 2 tahun lalu, ibu yang mengurus kami. Beliau tanpa lelah mencari nafkah untuk kami. Namun, ah! Sudahlah! Urusan seperti itu tidak penting bagiku!
                Aku mengarahkan motorku menuju ke sebuah tempat seperti gudang. Teman-temanku sudah menanti di sana. Ya, teman-teman yang akan berpesta narkoba bersamaku. Kami pun menusukkan jarum suntik itu ke lengan kami. Zat-zat haram itu pun masuk ke dalam aliran darah kami. Dalam sekejap, kami merasakan suatu kebahagiaan yang bagi kami serasa kebahagiaan di surga.
                Akhirnya, pesta pun selesai. Aku hendak menaiki motorku, ketika sebuah SMS masuk ke dalam HP-ku. Begini tulisannya:
                “ Kak Zaky! Ibu kecelakaan! Kondisinya sudah sangat kritis. Sedari tadi ibu mengharapkan kedatangan kakak. Cepatlah ke sini kak! Ke RS Sari Bhakti kamar nomor 130”
                “Aah.., dasar! Merepotkan saja!”, ujarku. Lalu, menaiki motor dan memacu motorku ke RS itu.
****

                Dalam waktu kurang dari 30 menit, aku sudah sampai di RS itu. Aku mendongak, mengagumi besarnya bangunan itu. Sungguh besar, pikirku. Aku bergegas masuk ke dalam dan bertanya ke pusat informasi.
                “Ada yang bisa saya bantu Pak?”, tanya salah satu karyawati di pusat informasi.
                “Maaf Mbak, ruang 130 di mana ya?”, tanyaku.
                ‘Ooh, itu ada di lantai 2 Pak. Bapak naik lift di sana, lalu belok kanan. Di situlah letaknya.”, ujarnya menunjukkan letak ruang 130.
                “Terima kasih Mbak”, kataku. Karyawati itu hanya mengangguk sambil tersenyum.
****
           

                Aku telah sampai di depan ruang 130. Sebuah ruangan sederhana untuk satu pasien. Aku membuka pintunya perlahan. Kudengar suara isak tangis adikku. Aku pun masuk. Beberapa tetanggaku ada di situ juga rupanya. Mereka menatapku tajam, seolah ingin segera menumpahkan segala kesalahan padaku. Desas-desus bahwa aku sering mengacuhkan ibuku sudah tersebar rupanya. Begitu juga dengan kelakuan burukku.
                Aku mendekati ibuku yang sedang terbaring lemas. Ibu mengisyaratkan agar aku mendekatkan telingaku pada beliau.  “Sebentar lagi ibu akan dipanggil oleh-Nya, ibu ingin kamu jadi anak yang sholeh”, bisik ibuku padaku. Hatiku bagai dihantam palu godam mendengarnya. Air mataku ingin keluar, namun mataku seolah sudah diprogram agar tidak mengeluarkan air mata. Setelah ibu mengatakan itu, benar saja, ibu menghembuskan nafas terakhir. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”,  ujar tetangga dan adikku melepas kepergian ibuku. Sontak tangis pun memecah di ruangan itu. Aku memeluk ibu yang sudah terbujur kaku dan mengisak perlahan.
                “Kak Zaky, ini pemberian dari ibu”, ujar adikku seraya memberikan sebuah buku diary kepadaku. Kutatap wajahnya. Tampak kesedihan yang amat dalam terpancar dari wajahnya. Aku pun membuka diary itu. Tertulis nama ibuku, “Hening Pratiwi” di pojok atas sebelah kanan halaman pertama diary itu. Ada juga tulisan lafazh “bismillahirrohmanirrohim” di tengah-tengah halaman itu. Aku membolak-balik halaman demi halaman buku itu. Sampai di pertengahan, aku tertegun membaca rangkaian kata-kata di halaman itu. Tulisan itu bertanggalkan 2 minggu yang lalu. Begini tulisannya:
“Aah, diary... maafkan aku kalau aku sering menulis segala kelakuan buruk anak sulungku padamu. Saat ini juga, maafkan aku ya... aku ingin menulis kelakuan buruk dia juga. Haah., hari ini dia juga pulang malam. Lagi-lagi aku bingung dibuatnya. Mengapa akhir-akhir ini dia sering pergi tanpa pamit, pulangnya malam pula? Tentu sebagai ibu, aku khawatir. Apalagi, dia anak sulungku. Aku ingin mengomel, namun, bila kulihat wajah lelahnya ketika pulang, aku menjadi tak tega. Aku curiga kalau-kalau dia bermain ke diskotik, atau apalah itu. Namun, kutepis pikiran itu. Semoga tidak demikian, Ya Allah...”
                Aku terus membolak-balik diary itu, hingga sampailah pada halaman terakhir diary itu. Kulihat tanggalnya. Tertulis hari ini! Aku lalu membaca tulisan terakhir dari ibuku itu. Sepertinya, tulisan itu benar-benar ditujukan untukku.
                “Zaky, ibu menulis pesan terakhir ini untukmu, Nak. Ibu merasa, sebentar lagi ibu akan dipanggil oleh-Nya. Ibu ingin, ketika ibu sudah dipanggil, kamu menjadi anak yang sholeh. Oh ya, seminggu lagi hari ulang tahunmu ya? Maafkan ibu tidak bisa menemanimu hari itu. Ibu harus memenuhi panggilan-Nya. Ibu juga tidak bisa memberikan kado untukmu hari itu. Makanya, ibu berikan kadonya hari ini. Semoga kado ini bermanfaat untuk kehidupanmu kelak. Kado itu adalah, tulisan yang kamu baca sekarang. Ibu ingin kamu dapat mengambil pelajaran dari kematian ibumu ini. Bahwa, setiap makhluk pasti akan mati. Tidak akan ada makhluk yang abadi di dunia ini, sayang. Oleh karena itu, pikirkanlah kematian mulai hari ini. Pikirkan di mana kamu akan mati, dalam keadaan apa, berapa banyak orang-orang yang hadir dalam pemakamanmu, berapa orang yang merasa kehilangan dirimu. Maka itu, sayang, perbaikilah dirimu. Persiapkan dirimu untuk menghadap sang Hakim Agung, yaitu Allah SWT. Hanya itu pesan ibu, Nak. Selamat tinggal sayang...”
                Meleleh air mataku ini. Dunia sekitarku seakan-akan meledak. Bayangan kenangan dan kesalahanku pada ibu pun meramaikan otakku. Yang ada di otakku sekarang mungkin hanya itu. Aku merasa menjadi orang paling bersalah di dunia ini. Bagaimana tidak? Aku belum sempat minta maaf pada ibu. Aku ingin meneriakkan kata-kata ‘ibu’ sekencang-kencangnya . Namun, mulut ini seolah terkunci rapat. Tiba-tiba saja, pandanganku gelap. Samar-samar kudengar suara ibu. Oh, apakah aku sudah menyusul ibu? Oh tidak, aku belum siap untuk  menghadap sang Ilahi.
                “Zaky, bangun Nak!”, pinta ibuku. Hah? Aku disuruh bangun? Ada apa ini sebenarnya? Namun, kuturuti perintah ibuku itu. Perlahan, kuberanikan diriku untuk membuka mata. “Alhamdulillah!”, ucap ibuku bersyukur. “Akhirnya kamu bangun juga, Nak, dari tadi ibu bangunin kamu, gara-gara kamu teriak-teriak manggil ibu terus”, jelas ibuku panjang lebar. Aku makin bingung ketika kulihat sekeliling. Hanya ruang kamarku yang kulihat. Apakah tadi itu hanya mimpi?
                “Kamu tadi mengigau, Nak”
                “Oh, jangan-jangan tadi hanya mimpi”
                “Ya, mungkin, soalnya dari tadi kamu teriak-teriak ibu terus, memangnya kamu mimpi apa, Nak?”
                “Haha, nggak usah diceritain lah, malu aku Bu”
                “O ya Bu, maafkan segala ingkah laku burukku selama ini ya Bu...”
                “Ada apa gerangan? Kok tiba-tiba minta maaf?”
                “Ibu tidak senang aku minta maaf?”
                “Bukan begitu, tumben aja kamu minta maaf, hehe”, canda ibuku sambil memelukku erat. Sepertinya, ibu bahagia sekali melihatku sadar akan kelalaianku selama ini. “Tanpa kau minta pun, Ibu sudah memaafkanmu Nak”, tambah ibuku lagi.
                Semenjak hari itu, aku memutuskan untuk bertaubat. Taubatan nasuha tentunya. Kuakui, memang untuk meninggalkan narkoba sepenuhnya adalah suatu hal yang sulit. Namun, aku akan terus berusaha. Bukankah Allah akan memudahkan hamba-Nya untuk meninggalkan kemaksiatan kalau hamba itu bersungguh-sungguh?
                Seminggu telah berlalu. Ibu dan adikku terus mendukungku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Namun, hari ini nampaknya menjadi hari yang istimewa buatku. Bagaimana tidak? Ibu, adikku serta teman-temanku, baik di dunia nyata maupun maya, mengucapkan doa dan turut berbahagia akan bertambahnya umurku. Ulang tahunku memang tidak dirayakan besar-besaran. Namun, bagiku limpahan doa dari orang-orang dekatku menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Bagiku itu sudah cukup. Ternyata, mereka menyambut dengan positif keinginanku untuk bertaubat. Terima kasih Ya Allah...
Semoga cerita ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar