Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Sabtu, 15 Januari 2011

CINTA ABADI

                 Sore itu, semburat oranye matahari sudah hampir menghilang, digantikan oleh hitamnya malam. Kutatap tampang bulatnya itu dari jendela kamarku di lantai 2. Sepertinya, dia ingin sekali mengucapkan kata-kata perpisahan dengan hari itu. Namun, geliat kasar dari sang malam, seolah memupuskan keinginan sang surya itu. “Sudah giliranku untuk menguasai langit ini!”, mungkin itu yang akan dikatakan sang malam kepada mentari, jika saja ia benar-benar dapat berbicara.
                30 menit lagi adzan Maghrib. Kualihkan pandangan yang sejak tadi terpukau oleh keindahan panorama ciptaan Allah SWT itu. Baru saja aku ingin keluar kamar, tiba-tiba kudengar seseorang datang dan mengucap salam. Kuintip situasi di depan gerbang rumah lewat jendela kamar. Terlihat sesosok laki-laki remaja yang mengendarai sepeda, dibalut kaos hijau polos dan celana jeans biru. Kupicingkan mataku agar wajahnya terlihat jelas. Ooh, adik kelasku rupanya. Segera ku berlari menuruni anak tangga. Kubuka pintu rumah dan kuhampiri dia. Kubuka pintu gerbang dan kupersilahkan dia masuk.
                Muhammad Hasanuddin namanya. Biasanya, dia dipanggil dengan nama Hasan. Sesuai dengan namanya, akhlak adik kelasku ini memang baik. Sewaktu aku masih satu sekolah dengannya (karena sekarang aku sudah lulus), dia memang terkenal kalem, cool, dan cerdas juga. Umurnya 14 tahun, 1 tahun lebih muda dariku. Wajahnya juga tampan. Tak heran jika ia disukai banyak temannya yang wanita. Guru-guru juga menyukainya. Tak heran juga jika ia sering menjadi murid teladan di sekolah.
                Namun, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal hatinya sekarang. Terlihat dari sorot matanya yang biasanya ceria dan bersemangat, sekarang hanya memancarkan kekosongan tanpa arti. Entah itu masalah apa. Begitu kutanya apakah dia memiliki masalah, dia hanya menjawab dengan sebuah anggukan lemah. Lalu dia mengajakku untuk berbincang-bincang di kamarku saja. Namun, karena sedikit lagi adzan, kami memutuskan untuk pergi ke masjid dahulu, baru kemudian berbincang-bincang di kamarku.
****
                “San, emangnya ada masalah apa?”, tanyaku setelah mempersilahkan dia masuk dan duduk di kamarku. “Apakah itu menyangkut pelajaran? Tenang saja, jika hanya soal itu, Insya Allah akan kubantu.”, tambahku. Walaupun dia cerdas, namun sesekali dia juga minta diajari olehku, terutama jika sudah menyangkut soal-soal matematika yang rumit.
                Dia menghembuskan napas. Sepertinya, hembusan itu adalah ekspresi dari keputusasaan yang menimpanya. “Kalo soal pelajaran sih, udah gampang Kak...”, ujarnya. Lalu, dia menatapku dalam dan berkata, “Ini, masalah yang biasa dialami seorang remaja, masalah cinta...”
                “Itu mah wajar kali, perasaan itu emang akan muncul di masa-masa remaja, masa yang sedang kita alami sekarang. Asalkan kita bisa mengendalikannya.”
                “Itu dia Kak masalahnya... aku takut konsentrasi belajarku jadi hilang gara-gara aku nggak bisa ngendaliin perasaan itu. Aku jadi pengen kayak Kak Wahyu. Masih tetap konsentrasi belajar walaupun suka sama seseorang.”
                “Hahaha, kalo itu mah tergantung orangnya. Kalo aku, menjadikan rasa itu sebagai motivasi untuk belajar dan berusaha lebih lagi, agar bisa ngalahin dia. Kamu tahu Vina kan? Dia tuh udah cerdas, alim lagi! Aku suka sama dia. Tapi, aku menjadikan itu sebagai motivasi biar bisa ngalahin dia.”
                Hasan termenung, lalu mengangguk perlahan. Sepertinya, dia sudah mulai mengerti apa yang sedang dia hadapi sekarang. Aku pun berdiri dan menatap langit malam berhiaskan bintang dan bulan lewat jendela kamar sambil berujar, “Huff.., tapi entah mengapa, aku sangat tak ingin kehilangan dia. Tak ada yang bisa gantiin dia. Aku tak tahu kenapa begitu. Aku selalu teringat keanggunan dia yang dibalut jilbab. Aku juga tak bisa melupakan tundukan pandangannya ketika dia bertemu dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Aku ingin sekali dia berada di sisiku suatu saat nanti. Agar kami bisa saling menasehati dalam kebenaran. Namun, rasa itu tak boleh mengalahkan cinta kita kepada Allah SWT. Karena, hanya cinta-Nya lah yang abadi.”
                Tak lama kemudian, samar-samar terdengar lantunan adzan Isya’. Kami berdua, serta ayahku pun pergi ke masjid. Sedangkan ibu dan 2 adik perempuanku sholat di rumah. Dalam sujudku, aku berdoa agar orang-orang yang kusayangi tidak terjebak dalam lubang kenistaan dari cinta. Seperti pacaran misalnya. Setelah sholat selesai, kami langsung pulang ke rumah. Sekitar 1 jam kemudian, setelah berbincang-bincang tentang banyak hal, Hasan pun pamit.
                Jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Aku pun beranjak ke kamar. Kurebahkan tubuhku ke kasur. Sebentar kemudian, aku sudah terlelap.
****
                8 tahun kemudian...
                Lantunan adzan Subuh memasuki telingaku perlahan. Aku pun terbangun. Langsung kupaksa tubuh ini untuk merasakan kesegaran air wudhu pagi itu. Aku pun membangunkan ayah dan mengajaknya pergi ke masjid. Kami pun pergi. Sesampainya di rumah, kantuk berat langsung menghinggapiku. Tak pelak, aku pun melanjutkan tidurku. Kebetulan, hari itu hari Minggu.
                Cahaya hangat mentari perlahan memasuki ventilasi kamar. Kicauan burung sudah terdengar di sana sini. Rutinitas hari Minggu pun mulai dibunyikan. Aku pun beranjak dari kasur. Tiba-tiba, sebuah SMS menghampiri HP-ku. “Assalamu’alaikum Kak Wahyu, antum siang ini jadi ke rumah ana? –Hasan-”, begitu bunyi SMS nya. Astaghfirullah, hampir aku lupa bahwa hari ini aku ada janji untuk ke rumah Hasan. Memang hanya sekedar berkunjung, namun, namanya janji harus ditepati kan?
                Jam 12.00. Kupacu motorku ke rumahnya. Hanya dalam waktu 15 menit, aku pun sampai di rumahnya.
                “Assalamu’alaikum...”, ujarku mengucap salam.
                “Wa’alaikumussalam, silakan masuk Kak...”
                Kami pun berbincang-bincang. Kami saling menceritakan berbagai pengalaman-pengalaman seru yang telah kami lewati. Aku pun menceritakan rencanaku untuk menikah dengan Vina minggu depan.
                “Wah, ana nggak nyangka, antum beneran nikah sama dia?”, tanya Hasan sambil memasang muka terkejut.
                “Iya, akhirnya Allah mempertemukan kami berdua. Mohon doanya ya, San.”
                “Oke kak.”
                Tiba-tiba, Hasan mengajakku untuk makan siang bersama. Kebetulan, orangtua Hasan sedang pergi ke luar kota, jadi kami hanya pergi berdua. Kami menuju ke warung makan terdekat.
                “San, ini artinya ente yang traktir ana kan?”
                “Iya Kak, antum tenang aja, alhamdulillah ana lagi ada rezeki. Tapi, inget diri juga lah Kak, hehe.”
                “Hahaha, bisa aja ente. Iyalah, lagian ana juga nggak banyak-banyak makannya. Cuma 2 piring kok, hehehe.”, candaku. Meledaklah tawa kami.
                Namun, keceriaan itu tak bertahan lama. Pasalnya, di depan kami terlihat banyak orang berkerumun. Sepertinya, belum lama terjadi kecelakaan. Aku seperti dibisiki untuk berhenti dan bergabung di kerumunan. Dan, anehnya lagi, tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Pikiranku, entah mengapa, langsung membayangkan Vina. Langsung kuberhentikan motor dan kuhampiri kerumunan itu, tanpa bisa dicegah oleh Hasan. Kuserobot kerumunan itu untuk melihat siapa yang kecelakaan. Ya Allah, semoga ini tak ada hubungannya dengan sekelebat perasaan tidak enak tadi, bisikku dalam hati.
                Aku ternganga ketika melihat orang yang tergeletak itu ternyata perempuan. Perempuan itu menutupi kepalanya dengan jilbab berwarna biru muda. Dipadukan dengan baju putih dan rok berwarna biru muda juga. Anggun dan cantik sekali. Namun, kepalanya sudah bersimbah darah. Kulihat wajahnya. Masya Allah, ternyata perempuan itu adalah perempuan yang sangat kukenal. Dia bernama Vina... Bapaknya, yang memboncengi Vina, juga tergeletak, namun lukanya hanya luka ringan.  Langsung menetes air mataku. Segera kusuruh Hasan untuk menghubungi rumah sakit terdekat. Hasan pun langsung melaksanakan perintahku. Oh, mengapa ujian ini harus terjadi padaku?
****
                Aku harap-harap cemas menunggu Vina siuman. Begitu juga dengan orang tua dan calon mertuaku. Tampak kesedihan tersirat di wajah mereka. Bagaimana tidak? Tinggal seminggu lagi mereka akan menyaksikan anak mereka menikah, namun, justru peristiwa ini yang terjadi.
                “Bagaimana Dok keadaan Vina? Apakah dia akan siuman?”, tanyaku begitu dokter memasuki ruangan kami.
                “Maaf Dik, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, nyawanya sudah tak tertolong. Pendarahan di otaknya terlalu parah. Kami sudah mencoba berbagai cara, tetapi hasilnya nihil.”, ujar dokter.
                Lutut ini terasa lemas begitu kalimat itu meluncur dari mulut dokter itu. Air mataku sudah tak dapat ditahan lagi. Kalimat istirja’ langsung menggema di ruangan kami. Air mata bercucuran dari pipi kami. Tak terkecuali Hasan.
                Di luar RS, aku hanya menatap kosong langit oranye sore itu. Saat ini, lukisan langit itu tak menarik perhatianku. Tiba-tiba Hasan sudah berada di sampingku, menepuk pundakku perlahan.
                “Ana turut prihatin Kak. Tapi, saran ana, antum jangan terlalu larut dalam kesedihan lah. Toh beliau meninggal dalam perjalanan menuju majelis ta’lim. Mati syahid kan?”, ujar Hasan berusaha menghiburku.
                “Iya, tapi ente nggak tahu gimana perasaan ana ini. Ditinggal oleh perempuan yang sedikit lagi jadi pasangan ana.”
                “Sudahlah Kak, dulu kan Kak Wahyu sendiri yang bilang, kalo cinta manusia itu nggak abadi. Ya sudah, relakanlah kepergian beliau. Yang harusnya antum pikirkan, adalah gimana antum menyusul beliau ke surga. Bukankah itu yang harusnya kita rencanakan? Lagipula, ini adalah takdir yang telah digariskan oleh-Nya. Carilah hikmah dibalik kejadian ini, Kak. Siapa tahu, antum mendapat perempuan yang lebih baik dari Vina.”
                Aku terpekur mendengar nasihat Hasan. “Kak, jangan tersinggung dengan kata-kata ana tadi. Ana hanya berusaha menasehati antum, biar cinta antum kepada Vina, tidak melebihi cinta antum kepada Yang Menciptakan Vina, yaitu Allah SWT. Yakinlah bahwa segala yang bernyawa pasti akan kembali pada-Nya.”
                “Terima kasih nasehatnya San...”, ujarku sambil memeluk Hasan. “Ente memang adik kelas yang baik. Tidak gentar menasehati kakak kelas yang sedang khilaf.”
                “Sama-sama Kak.”
                Kami pun bersiap-siap untuk menjalani prosesi pemakaman Vina. Namun, ketika kupandangi langit sore itu lagi, kulihat bayangan wajah Vina. Entah ini khayalanku saja atau bukan. Dia menatap dan tersenyum padaku. Tunggulah aku di surga sana Vina, bisikku dalam hati.
SELESAI
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar