Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Sabtu, 11 Desember 2010

KISAH SEORANG PEMUDA

           Kuseruput secangkir teh yang dihidangkan istriku di meja ruang tamu. Suasana dingin akibat hujan pun dalam sekejap berubah menjadi kehangatan luar biasa. Kuarahkan pandangan ke luar jendela. Nampak jutaan butiran air berlomba-lomba mencapai tanah. Matahari sudah tak tampak cahayanya akibat tertutup awan. Bila kuingat tanggal 28 Oktober, memori masa-masa SMA terbuka. Sesosok pemuda muncul di benakku. Pemuda yang membuat keadaanku seperti ini. Ingatanku pun melayang ke masa itu. Bagai sebuah siaran langsung, ingatan akan masa itu seolah kulihat langsung, hingga detail-detail peristiwa masa itu.
****
            Langit tampak tak bersahabat. Dedaunan bergoyang ria ditiup hembusan angin yang kuat. Gelegar guntur bersahut-sahutan dengan cahaya dari sang kilat. Awan-awan hitam sepertinya sudah tak sabar ingin menumpahkan air-air yang sedari tadi dipikulnya berat. Nampaknya, akan turun hujan lebat.
            Aku baru keluar dari kelas. Kulirik jam tangan digital-ku. Sudah jam 14.03! Aku harus bergegas! Kuhampiri motor Shogun-ku yang kuparkir tak jauh dari gerbang sekolah. Kupandangi langit sejenak. Gelap sekali, batinku. Langsung kuambil kunci motor dari kantong celana, dan kunyalakan mesin motor. Bunyinya memang lembut. Namun, kurasa suara lembut itu, menyiratkan ketakutannya terhadap guntur yang seolah  meneror kota.
            Hujan sudah turun. Sial, aku lupa membawa jas hujan. Motor terus kupacu walau baju ini harus basah. Walau aku harus menggigil kedinginan. Namun, mengingat hari sudah agak sore, aku tak memedulikan itu semua. Aku terus melaju, membelah hujan sore itu.
            Sekitar 30 menit kemudian, aku pun sampai di halaman depan rumah. Kuparkir motor di tempat yang tidak terkena hujan. Baju koko dan celana abu-abu yang kupakai basah kuyup. Tas yang kupikul sedari tadi juga menjadi korban ‘keganasan’ sang hujan. Aku mungkin akan dimarahi ibuku kalau pulang dengan basah kuyup seperti ini.
            “TOK! TOK! TOK! Bu, Faris pulang…”, kuketuk pintu sambil berharap ibuku membuka pintu.
            “Iya sebentar…”, jawab ibu sambil membuka pintu. “Kok basah kuyup Bang? Memangnya lupa bawa jas hujan ya tadi?”
            “Iya Bu, tadi pagi aku buru-buru. Takut terlambat. Jadinya lupa deh, bawa jas hujan.”, jawabku sambil mencium tangan ibu dan masuk ke dalam rumah. Langsung kuganti pakaianku yang basah kuyup.
****
            Kegelapan malam perlahan menggeser singgasana matahari di langit. Cahaya keemasan sang bulan mulai menampakkan keindahannya. Kelap-kelip bintang mulai menghiasi langit malam itu. Rumah-rumah mulai menyalakan lampu masing-masing ruangan kebanggaannya. Ayah baru saja pulang kerja. Aku sudah mengurung diri di kamar untuk berkonsentrasi mengerjakan tugas membuat kliping mengenai Sumpah Pemuda. Aku diberi waktu 1 minggu untuk mengerjakannya. Naskah, sejarah, serta tokoh-tokoh dalam peristiwa itu dapat dengan mudah kudapat informasinya di internet. Namun, yang sulit adalah, mencari seorang pemuda untuk ditanya pendapatnya mengenai peristiwa tersebut. Otakku berpikir keras, siapa kira-kira pemuda di lingkunganku yang peduli dan memahami makna dari peristiwa Sumpah Pemuda.
            Beberapa menit aku berpikir, akhirnya kutemukan pemuda itu. “Sepertinya dia dapat dimintai pendapatnya. Apalagi, besok tanggal 28 Oktober. Dia akan beraksi! Untungnya, besok hari Sabtu, jadi, aku libur dan bisa nanya deh. Hehehe..”, batinku. Kulihat jam wekerku. Jarumnya telah menunjukkan pukul 22.30.  Aku pun merebahkan diri di kasur dan tidur.
****
            Kicauan burung-burung sudah merasuk ke telingaku. Mentari juga sudah menembus ventilasi kamar. Cahayanya yang menyilaukan membuatku terbangun. Kulihat jam tangan digital-ku. Sudah jam 06.00! Hmm, sekitar 1 jam lagi pemuda itu akan beraksi. Sambil menunggu aksinya, aku mandi terlebih dahulu. Menit demi menit pun berlalu. Hingga tinggal 5 detik lagi menuju jam 07.00, waktu di mana pemuda itu akan beraksi. Kuhitung mundur waktunya. Lima. Empat.Tiga. Dua. Satu. Dan…
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air IndonesiaKami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”
          
            Seseorang menyetel dengan keras radionya, yang saat itu sedang memperdengarkan pembacaan teks Sumpah Pemuda. Yap! Dialah pemuda yang kucari. Warga sekitar sudah maklum dengan kelakuan pemuda itu. Sejak 4 tahun terakhir, dia selalu melakukan itu, di tanggal yang sama, dan di jam yang sama pula!
Pemuda itu adalah penghuni rumah di sebelah kanan rumahku. Pemuda itu berperawakan sedang. Wajahnya tampan. Dilihat dari wajahnya, umur pemuda itu mungkin berkisar antara 20-25 tahunan. Dia termasuk pemuda yang taat beragama. Dia juga termasuk pemuda yang terus berjuang untuk mengharumkan negeri ini. Tercatat, beberapa kali dia mengikuti lomba-lomba internasional mewakili Indonesia, dan hasilnya, dia pernah menyabet medali emas pada Lomba Fisika Internasional. Berbeda dengan pemuda-pemudi lainnya di lingkunganku, yang sepertinya justru betah dengan keadaan mereka yang terpuruk.
****
            “Faris, kakak merasa, pemuda Indonesia sekarang ini, sedang mengalami keterpurukan”, ujar pemuda itu ketika kutanya pendapatnya mengenai pemuda Indonesia zaman sekarang. “Sepertinya, Sumpah Pemuda tak berarti apa-apa bagi mereka. Mereka tak sadar akan makna yang sangat dalam dari Sumpah Pemuda itu.”
            “Kak Faiz, memangnya, apa makna dari Sumpah Pemuda itu?”, tanyaku, menanyakan soal pertama dari tugas klipingku.
            “Sumpah Pemuda, menurut kakak, merupakan ikrar dari pemuda-pemudi bangsa kita, untuk terus membuat harum nama negeri kita ini. Dalam Sumpah Pemuda itu, pemuda-pemudi Indonesia mengakui dengan bangga, bahwa Indonesialah tanah air, bangsa, dan bahasa mereka. Secara logika, harusnya mereka membuat harum nama negeri yang mereka banggakan bukan? Namun, kebanyakan dari mereka, justru membuat negeri ini diolok-olok, direndahkan, dihina, dan sebagainya. Begitulah keadaannya sekarang.”
             “Pemuda-pemudi sekarang juga, kebanyakan ‘hanya’ bertambah ‘matang’ dalam urusan cinta, pacaran, dan sejenis itu. Sedikit sekali bahkan hampir tak ada yang makin matang dalam berpikir dan bersikap, serta hal lainnya yang lebih utama dari ‘sekedar’ urusan cinta dan pacaran dengan lawan jenis.”, tambah Kak Faiz.
            Kucatat dengan hati-hati setiap kalimat yang diucapkan Kak Faiz. Benar-benar pemuda yang hebat, batinku. Adakah di kemudian hari seorang pemuda/pemudi yang mempunyai pemikiran yang sama dengan Kak Faiz?
Selesai mencatat, aku pamit dengan Kak Faiz. Aku langsung memindahkan catatanku tadi ke dalam komputer. Aku renungkan kata-kata dari Kak Faiz tadi. Benar-benar dalam maknanya. Aku pun menjadi termotivasi agar menjadi pemuda yang mengharumkan nama bangsa.
****
6 hari kemudian…
            Aku baru saja sampai di halaman rumah malam hari. Karena, sepulang sekolah, aku main sebentar ke rumah teman. Kulirik sebentar rumah Kak Faiz. Gelap. Tak ada lampu yang dinyalakan. Aku hanya berpikir, Kak Faiz sudah tidur, mungkin. Aku pun masuk ke rumah, lalu belajar sebentar. Setelah itu, aku masuk ke kamar dan memandangi bintang-bintang melalui jendela kamar. “Andai saja, aku bisa seperti mereka, dapat menerangi dunia dengan cahaya mereka yang terang dan indah”, ujarku mengagumi keindahan bintang. “Namun, tentulah jumlah mereka lebih sedikit daripada kegelapan malam yang menyelimuti mereka, Nak”, ujar ayah yang tiba-tiba telah berdiri di depan kamarku yang terbuka. “Oleh karena itu, kamu harus berjuang keras agar menjadi bintang itu. Kalau hanya bersantai-santai, silakan kau menjadi malam yang gelap dan hitam.”, tambahnya lagi. “Namun, ingat, jangan lupa ibadah juga. Jika hanya berusaha, kau ‘hanya’ akan menjadi bintang biasa yang cahayanya berkelap-kelip. Jika ditambah ibadah, kau akan menjadi bintang kejora atau matahari yang terus bercahaya.”, tambahnya lagi seraya menyuruhku mematikan lampu dan tidur.
            Keesokan harinya, tatkala matahari sudah menyapa makhluk-makhluk, kudengar sirene ambulans meraung-raung di rumah Kak Faiz. Ada apa gerangan? Aku pun berlari menuruni anak tangga rumah dan keluar melewati pintu. Aku langsung menerobos kerumunan tetangga yang telah memenuhi halaman rumah Kak Faiz. Dan, pemandangan ini sungguh memilukan hatiku…
            Kulihat seonggok tubuh Kak Faiz yang sudah tak bernyawa, digotong ke dalam ambulans. Kudekati mayat itu. Ada 2 bekas tusukan di tubuhnya. Di dada dan di perut. Menurut keterangan tim forensik yang kutanya, Kak Faiz sudah meninggal sejak dini hari tadi. Menurut keterangan saksi, ini adalah perbuatan dari orang yang benci padanya. Sayang, polisi belum menemukan siapa dalang di balik pembunuhan ini. Mengapa orang sehebat dia harus mati di tangan dingin seorang pembunuh? Beginikah keadaan bangsa ini sekarang? Orang baik-baik justru ditindas, dibenci, bahkan dibunuh? Aku ingin menangis sekencang-kencangnya, namun, senyum Kak Faiz yang membekas di wajah mayat itu, menghapus kesedihanku, dan menggantikannya dengan motivasi luar biasa untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan Kak Faiz, yaitu mengharumkan nama bangsa Indonesia. Akulah yang akan menggantikannya, batinku. Tak peduli berapa banyak orang kelak yang akan membenciku.
****
            Pelukan lembut dari istriku, menghempaskan ingatanku yang sedang melayang-layang di masa itu, kembali ke masa sekarang ini. Ah, istriku, lembut sekali pelukanmu. “Lagi nulis apa Mas?”, tanya istriku sambil bergayut manja pada pundakku. “Mas lagi nulis diary hari ini Dek. Kalau ingat hari ini, tanggal 28 Oktober, Mas jadi ingat kenangan Mas dulu sama kakakmu. Makanya Mas melamun, hehe.”
            “Ooh, ingat sama Kak Faiz toh, kirain kenapa…”
            “Iya, kakakmu benar-benar hebat Dek. Dialah yang membuat Mas seperti ini. Menjadi direktur perusahaan besar di umur 37 tahun.”
            “Ya sudah Mas, tidur yuk, sudah malam, lagipula besok pagi-pagi sekali Mas harus meeting di kantor.”
            Aku pun mengangguk. Kuletakkan diary-ku di laci kamar. Kumatikan lampu dan kukecup kening istriku. Lalu, kupejamkan mataku dan tidur.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar