“Jambret..!!! Tolong.. Toloooong!!!”
Suara gadis lesung pipi jilbab putih itu melengking tinggi. Membuyarkan kerumunan ayam yang mengepung ceceran butiran beras. Jalanan lengang tak tampak lagi. Gaduh. Seorang pemuda berpakaian preman berlari sekuat tenaga. Gesit melewati lorong-lorong gang sempit, menjauhi teriakan sang gadis. Tas warna coklat sudah ada di tangannya. Siang itu misinya berhasil. Sang gadis hanya menangis tak mengeluarkan air mata. Hanya berdiri. Berteriak.
***
”Sudah pulang, Nak?”
Seorang wanita renta duduk di sebuah kursi roda berkarat di beberapa sisi, bertanya pada putra semata wayangnya. Tangan kanannya memegang tongkat kayu agak panjang yang kini menjadi pengganti kedua mata tuanya yang sudah tak mampu lagi melihat garis wajah putra kesayangannya. Penglihatannya telah terenggut penyakit dan usia.
”Iya Bu...”
”Sana segera ganti baju terus makan. Ada tempe goreng dan sambal tomat kesukaanmu. Sudah dhuhur?”
”Iya sudah Bu..”
Anak muda itu, putra sang ibu, bernama Faisal, masuk kamarnya. Sempit dan pengap di dalam sebuah rumah dinding anyaman bambu di pinggiran sungai kumuh dan jorok. Ia menarik nafas panjang. Lamat-lamat menerawang benda di tangannya. Dibukanya sebuah tas coklat yang dirampasnya dari seorang gadis di pinggir jalan tadi. Ia temukan di dalamnya beberapa benda. Pulpen, buku kecil, dan dompet. Matanya hanya tertuju pada dompet, acuh pada benda lain. Ia buka dompet itu. Ia temukan beberapa lembar rupiah.
”Cukup untuk makan satu minggu,” gumamnya. Ia lupa (dan sengaja lupa) untuk mengucapkan Alhamdulillah. Entah sudah berapa lama ia melupakannya. Tadi sewaktu bilang “sudah sholat dhuhur”, sebenarnya ia telah berbuat dua dosa besar : meninggalkan sholat dan berbohong pada ibunya.
Ia periksa dompet dan ia temukan sebuah foto seorang gadis bersama seorang lelaki paruh baya. Ia pun tersentak bukan kepalang. Dalam foto itu, sang gadis memakai tongkat. Ia tercengang. Gadis itu mirip dengan keadaan ibunya. Tuhan, apa maksud semua ini?
Di bagian bawah foto itu terdapat sebuah nama, Azka Humaira. Ia periksa dompet itu sekali lagi. Ada KTP-nya. Si pemilik tinggal di dusun Tegalwaru RT 2 RW 12. Dua puluh kilometer dari tempat tinggalnya.
***
Cahaya langit sore berpendar. Sang mega merah mulai meredup. Warna gelap mulai menggeliat hendak menyelimuti angkasa raya. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Senja kembali ke peraduan. Panggilan Tuhan berkumandang sahut-sahutan. Takbir menggelegar. Alam seakan ikut bertasbih memuji kebesaran Sang Pangeran Pemilik Surga.
Seorang anak belia tak kalah lantang mengumandangkan adzan di sebuah surau tengah pedesaan. Suaranya nyaring. Merdu. Orang-orang kampung menyambut seruan itu dengan penuh semangat. Anak-anak kecil berlarian ke tempat wudhu dengan riangnya. Sarung kotak-kotak melingkar di leher. Beberapa pancuran air wudhu sudah penuh sesak oleh mereka. Anak-anak putri pun tak kalah semangatnya. Berlomba-lomba menggapai cinta Sang Maha Pencinta.
Tak lama, di surau Al Mukharomah sudah berjajar rapi barisan hamba-hamba yang merindukan kenikmatan surga. Sholat maghrib siap ditegakkan. Takbiratul Ihram menggema di setiap sudut surau berukuran sedang itu. Barisan shaf sholat serentak mengikuti gerakan imam. Khusyuk berirama pelan mengikuti gerakan demi gerakan, doa demi doa, sujud demi sujud.
***
”Jamaah yang dirahmati Allah, cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah...”
Suara Kyai Hasan membuka kajian bada maghrib. Jadwal rutin.
Suara Kyai Hasan membuka kajian bada maghrib. Jadwal rutin.
”Terkadang cinta itu diuji dengan sesuatu yang menurut akal manusia kelihatan tidak nalar. Contoh seorang hamba yang memiliki cinta tertinggi adalah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Allah menguji beliau dengan ujian yang sangat luar biasa. Tidak masuk akal. Bertahun-tahun beliau memohon meminta seorang anak. Allah mengabulkannya. Tapi ketika anak itu lahir, Allah memerintahkannya untuk meninggalkan anak yang baru lahir itu beserta istrinya di padang gersang nan tandus tak berpenghuni. Coba bayangkan, bagaimana seorang ayah tega meninggalkan bayi mungil yang baru lahir dan istri yang amat dicintainya di tempat seperti itu. Tapi itulah namanya ujian. Tak masuk akal memang. Tak hanya itu, setelah putranya menginjak remaja, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. SUBHANALLAH! Cobaan yang sangat teramat berat. Harus menyembelih putra yang sangat shalih dengan tangan sendiri. Dan juga ujian-ujian yang lain yang Allah berikan pada Nabi Ibrahim. Itu semua untuk menguji apakah Ibrahim memang menomorsatukan Allah di atas segalanya,” paparan Kyai Hasan.
”Jamaah yang dirahmati Allah, tapi coba kita lihat, semua cobaan itu berakhir dengan bahagia. Ibrahim yakin bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Itulah jalan Allah, indah pada waktunya”
***
Malam merangkak perlahan. Bulan beranjak naik ke singgasana langit. Bintang-bintang menghambur memenuhi hamparan semesta. Warga kampung terlarut dalam lelap. Sepertiga malam. Sebuah rumah sederhana bercahayakan lampu minyak. Tidak terang dan juga tidak redup. Seorang pemuda tegak terpaku menghadap kiblat. Sajadah cokelat terbentang menemaninya dalam keheningan malam. Hanya suara gemericik air sungai kumuh dan jorok belakang rumahnya yang terdengar melantunkan syair kerinduan. Hati pemuda itu bergetar hebat. Tangis tak henti mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia menangis karena kehilangan khusyuk yang selama ini ia rasakan. Bayangan dosa yang menggunung menyelimuti hatinya. Ini untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tuhan, ini sungguh untuk yang pertama kalinya.
”Ya Tuhan, ampuni hamba..ampuni hamba.. astaghfirullah,” rintihnya dalam hati.
Doa demi doanya terbang menembus langit. Berpilin berputar bertemu dengan doa-doa hamba lain yang terjaga pada malam itu. Ia mengaduh. Air matanya semakin deras. Sesal mendalam terngiang menusuk batinnya. Satu yang ia inginkan dari doa itu : Jawaban “Ya”.
Doa demi doanya terbang menembus langit. Berpilin berputar bertemu dengan doa-doa hamba lain yang terjaga pada malam itu. Ia mengaduh. Air matanya semakin deras. Sesal mendalam terngiang menusuk batinnya. Satu yang ia inginkan dari doa itu : Jawaban “Ya”.
***
Di tempat lain, seorang wanita masih belum mampu memejamkan kelopak mata indahnya. Mata yang kini tak mampu melihat indahnya gemerlap bintang dini hari. Wanita itu adalah Azka Humaira, puteri Kyai Hasan pimpinan pondok pesantren Al Munawaroh.
”Ya Allah, akankah Engkau berikan seorang lelaki untuk hamba?” doa kecilnya terlantun perlahan. Doa bernada ragu, tanda tanya sekaligus penuh harap. Doa itu ikut berpilin berputar menembus jaring-jaring langit bersama ribuan bahkan jutaan doa lainnya. Dan, juga hanya satu yang ia inginkan dari doa itu : Jawaban “Ya”.
Saat bersamaan, pintu-pintu kamar santri berurutan digedor-gedor Kang Sulaiman, salah satu pengurus pesantren.
”Tahajud..!! Tahajud.!! Anak-anak ayo segera bangun!”
Lampu-lampu dalam kamar mulai menyala. Jam segitu, aktivitas pagi dimulai. Surau Al Mukharomah mulai bercahaya. Bagian depan santri putra sudah khusyu dalam sholat. Di barisan belakang santri putri turut menyemai barisan. Jutaan malaikat mengintip dari jendela langit seraya ikut bertasbih.
***
”Ibu, Faisal pergi dulu.”
”Kemana?”
”Ke dusun Tegalwaru mengembalikan dompet. Kemarin Faisal menemukannya di jalan.” Bibir Faisal terasa kelu saat mengucapkan kata menemukannya. Bukan itu seharusnya kata yang tepat.
”Ibu bangga padamu, Nak. Apapun keadaan kita sekarang, selalulah berlaku jujur. Kata ayahmu, jujur adalah mata uang yang berlaku dimanapun kita berada...” Ibu terdiam sejenak. Tersenyum kecil. Faisal tahu benar arti senyum itu, senyum kerinduan seorang istri pada suaminya yang telah lama tiada.
“Walaupun kita miskin harta, kita tidak boleh miskin iman. Kita boleh miskin di dunia, tapi jangan sampai miskin di akhirat. Pantang bagi kita untuk makan hasil dari yang haram. Lebih baik mati daripada harus makan makanan haram!”
Faisal menelan ludah. Lidahnya kaku. Hendak menitikkan air mata. Lebih baik mati? Sungguh, ia tak mengira ibunya akan berkata seperti itu. Andai ibunya tahu. Ya, andai ibunya tahu darimana asal uang yang ia makan sehari-hari.
Faisal merasa dosanya semakin menumpuk-numpuk, termasuk dosa berkali-kali membohongi ibunya. Juga dosa memberi makan makanan haram untuk ibunya tanpa sepengetahuan sejak ibunya buta dan sakit-sakitan.
***
Pagi itu Faisal berjalan kaki ke dusun Tegalwaru. Suasana pagi masih segar, belum panas. Mentari hangat menemani setiap langkahnya. Suasana pedesaan dan persawahan begitu kental saat kakinya menginjak dusun itu. Ini untuk pertama kalinya ia mengembalikan barang yang ditemukannya.
”Maaf Pak, dusun Tegalwaru sebelah mana?”
”Oh itu mas, sampeyan lurus saja terus nanti ada pertigaan belok kanan kira-kira dua ratus meter. Di sana sudah ada gapura selamat datang di dusun Tegalwaru”
Langkahnya ia percepat. Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai. Ia bertanya lagi pada seorang ibu penjual jamu gendong di pinggir jalan.
”Maaf Bu, rumahnya Azka Humaira di mana ya?
”Azka Humaira? Kayaknya ndak ada Mas.”
”Ini fotonya Bu..” seraya menunjukkan foto. Ibu itu tidak mengenali Azka. Tapi ia mengenali lelaki dalam foto itu.
”Kalau Bapak dalam foto ini saya tahu Mas. Namanya Pak Kyai. Rumahnya di pondok pesantren. Sampeyan lurus saja. Ada perempatan terus belok kiri seratus meter. Pesantrennya warna hijau.”
Faisal mulai ragu. Ternyata pemilik tas itu anak kyai. Dalam ragunya, ia bulatkan tekad untuk mengembalikan tas yang dijambretnya kemarin. Langkah kakinya terhenti di depan pesantren. Ia melihat ratusan muda belia mondar-mandir di setiap sudut pesantren itu. Ada yang sedang olahraga. Ada yang berkebun. Ada pula yang sedang membaca-baca buku di depan kelasnya. Ia melihat sekeliling. Bertanya pada salah satu santri.
”Mas, saya bisa bertemu Pak Kyai?”
”Mas masuk saja ke rumah itu,” jawab pemuda itu sambil menunjuk ke sebuah rumah kayu. Ia melangkah ke arah rumah yang ditunjuk. Sampai di depan rumah itu, ragunya muncul lagi, bahkan semakin menggunung. Sekarang atau tidak sama sekali! Faisal mantap mengetuk pintu rumah itu.
”Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumussalam. Siapa?” seorang wanita menyahut dari dalam rumah. Wanita lesung pipi jilbab putih.
Perlahan wanita itu membuka pintu. Faisal tersentak kaget. Wanita itu adalah sosok yang ada di dalam foto, Azka Humaira. Dengan tongkatnya, ia berjalan ke arah pintu. Ke arah suara salam. Ke arah Faisal.
”Mau bertemu siapa?” tanya Azka penuh hormat pada tamu.
”Saya mau mengembalikan tas ini. Permisi!”
Tas coklat itu ia letakkan di lantai, dekat kaki Azka. Faisal buru-buru pergi tanpa mengucap salam.
”Mas.....Mas....!” seru Azka memanggil-manggil Faisal yang sudah berada di kejauhan. Panggilan itu tak berbalas.
***
Bersambung……………….
Sumber: http://www.islamedia.web.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar