Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Senin, 09 Mei 2011

Sepasang Mata Cinta (2)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_JqcVNQoCXYfqmfaXotyVc0wufuYbO1TViBqI87AXxmWb8TZjdHqlwh93HaAKOguMCWTj2IaONm8_Z-vYSiuob3RGtU0a6xzl9TOs6YBFn1FzbvZgTAMq5YjmRB8_IyP2qyMVYC9w_j79/s380/love.jpg………………..”Mas.....Mas....!” seru Azka memanggil-manggil Faisal yang sudah berada di kejauhan. Panggilan itu tak berbalas 

*** 

Bola api raksasa menjilati bumi. Panas tak terkira siang itu. Langkah kaki Faisal menapaki teriknya jalanan. Hari ini hari ke lima belas ia luntang-lantung seperti gelandangan. Bedanya, gelandangan yang satu ini sedang mencari pekerjaan. Ini berarti, ia bukan gelandangan tapi pengangguran. Pengangguran? Ya, pekerjaan sebelumnya adalah jambret! Sekarang, ia resmi mengundurkan diri dari jabatan itu.
”Pak, apa saya bisa bekerja di sini?” tanya Faisal pada lelaki Cina tua berbaju gamis pemilik gudang beras di pasar Gentan. Lelaki itu memandangi Faisal dari ujung rambut hingga ujung kaki.
”Memangnya Mas mau jadi kuli angkut beras? Sampeyan apa nggak malu? Lagipula gajinya nggak seberapa!”
”Tidak apa-apa Pak, yang penting halal.”
”Baiklah kalau begitu. Besok Mas... siapa?”
”Faisal, Pak.”
”Oiya, besok Mas Faisal bisa mulai kerja dari jam satu siang sampai jam sembilan malam. Upahnya dua belas ribu per hari”
”Besok??? Terimakasih Pak!” Ini kali pertama ia terkejut dengan kata besok.
Sangat efektif perbincangan itu. Faisal mendapatkan pekerjaan. Kuli angkut beras, jabatannya saat ini. Sungguh jauh bergengsi daripada jambret.
***
Satu minggu kemudian.
”Jambret..! Jambret.!! Tolong..!!!”
Preman bercelana jeans robek-robek di bagian lutut berlari bagai kuda liar. Berhasil mencopet lelaki agak tua. Faisal spontan mengejarnya. Mereka kejar-mengejar. Bagai adegan film di mana seorang jagoan mengejar penjahatnya. Faisal mampu mengejarnya. Seketika ia menubruknya dari belakang lalu menghantam bagian tengkuk penjahat itu.
“Sal.. ini aku! Ini aku!”
“Jafar??”
”Kau kenapa Sal? Bukannya kau ini temanku? Kita ini sama-sama pencopet Sal!”
Faisal terdiam sebentar. Mencoba mencerna arti kata teman dan pencopet.
”Tidak! Aku sudah tidak mencopet lagi..” Faisal menyergah.
”Alah persetan! Sekarang minggir! Aku mau pergi!”
”Pergilah. Tapi serahkan dompet itu. Kembalikan pada yang punya,” Faisal mencoba meminta seramah mungkin sebagaimana seharusnya perlakuan seorang teman.
”Oo.. rupanya kau sudah jadi ustadz ya sekarang?? Kau nantang duel?!”
”Sadarlah Far, ini perbuatan dosa..” Faisal tetap ramah.
”Alaah.. makan aja itu dosa!!”
Jafar masih tak mau memberikan dompet itu. Perkelahian pun tak terelakkan. Faisal yang sejak kecil memang sudah terbiasa karate tak kesulitan mengalahkan Jafar. Ia berhasil mengambil kembali dompet itu.
”Awas kau Sal!” Jafar pergi sambil memaki-maki Faisal. Umpatan-umpatan kotor khas penjahat jalanan.
***
”Ini dompetnya, Pak. Lain kali hati-hati Pak. Daerah sekitar sini banyak copet.
”Terima kasih, Mas. Ini ambillah..” Si Bapak mengeluarkan lembar rupiah dominan warna biru.
”Tidak, Pak. Saya tidak mengharapkan ini. Sudah sepantasnya sesama manusia saling menolong.” Si Bapak terdiam dan mengerti betul dengan sikap semacam ini.
”Nama saya Pak Hasan. Kau siapa, Nak?”
”Faisal”
”Ini kartu nama Bapak. Kalau ada waktu mampirlah.”
***
”Faisal, besok tolong antarkan beras ke alamat ini.” Seperti biasa Faisal mendapat tugas mengantarkan pesanan beras. Harusnya ini tugas Mang Jajang, tapi hari ini Mang Jajang sedang menunggui istrinya yang mau melahirkan.
Ibu Fatimah dusun Tegalwaru RT 2 RW 12. Alamat yang diberikan pada Faisal
Tegalwaru? Rasanya ia mengenal nama itu.
Siang harinya dengan truk beras ia mengantar pesanan. Betapa terkejutnya ia ketika truk yang ditumpanginya itu memasuki pekarangan pondok pesantren Al Munawaroh, tepat di depan rumah Azka. Lebih terkejut lagi ketika lelaki yang menyambutnya di depan pintu tak lain adalah bapak yang pernah ia tolong, Pak Hasan.
”Kau Faisal kan?” Pak Hasan nampak terkejut.
”Iya Pak,” Faisal tersenyum tak mengira akan bertemu dengan Pak Hasan di tempat ini.
”Alhamdulilah Allah masih mempertemukan kita.”
”Beras ini harusnya pesanan Ibu Fatimah Pak. Tapi kok alamatnya di sini ya Pak? Ibu Fatimah itu siapa ya?”
”Iya Fatimah itu istri saya. Kemarin istri saya yang pesan beras untuk anak-anak santri. Oya, nanti kalau sudah selesai menurunkan beras-beras itu masuklah ke rumah sebentar, Bapak kepingin ngobrol sebentar.”
Satu per satu beras itu diturunkan Faisal dan satu temannya. Memang melelahkan pekerjaan seorang kuli angkut beras. Selesai menurunkan beras, Faisal memenuhi undangan Pak Hasan untuk masuk ke rumahnya. Tak lain tak bukan, rumah Azka Humaira. Jantungnya berdebar-debar. Bagaimana kalau Azka tahu? Ah, tak mungkin. Azka kan tidak bisa melihat. Jadi, tak mungkin ia akan mengenali Faisal.
Faisal masuk. Dipersilakan duduk.
”Langsung saja ya. Nak Faisal ini sudah berkeluarga?” Faisal mengernyitkan dahi. Pertanyaan macam apa ini? Belum-belum sudah ditanya tentang keluarga. Faisal menduga-duga.
”Sudah Pak. Saya sudah berkeluarga.” Sekarang gantian Pak Hasan yang melipat dahinya.
“Keluarga saya terdiri dari saya dan ibu saya,” Faisal segera melengkapi kalimatnya. Mengerti benar ekspresi wajah Pak Hasan dengan kalimatnya barusan. Tersenyum simpul. Pak Hasan balas tersenyum. Arti senyum itu : bisa saja kau bercanda, Nak!
"Di pesantren ini ada seseorang yang harus Nak Faisal tolong."
"Ditolong? Memangnya kenapa dia, Pak?"
"Ada seorang gadis. Insya Allah anak yang baik. Berbakti pada orang tua. Kau mau tidak Bapak jodohkan dengan dia?" Hal yang diduga oleh Faisal menjadi kenyataan. Memang benar, itulah yang akan disampaikan oleh Pak Hasan.
Santri? Menikah dengan seorang santri? Pencopet punya istri santri? Ah, bukan, tapi seorang kuli angkut beras dijodohkan dengan seorang santri pondok pesantren? Dunia ini sepertinya segera kiamat. Faisal meraba-raba pikirannya.
"Ehmm.. apa saya pantas, Pak?"
"Kenapa tidak? Tapi satu hal yang perlu kamu tahu Nak. Gadis itu memiliki satu kelemahan yang membuat dia tak lagi seperti gadis pada umumnya. Gadis itu buta sejak kecil."
Deg…degup jantung Faisal berdetak semakin kencang. Faisal mampu menebak dengan tingkat keakuratan benar mencapai 99,9%. Yang dimaksudkan Pak Hasan pastilah gadis itu.
”..ia anak bapak. Namanya Azka Humaira.”
Tak disangkanya ia mendapat tawaran yang begitu membuatnya terperanjat. Dengan terbata-bata, Faisal berkata, bermaksud menolak dengan sehalus mungkin.
"Ma-aa-af Pak, jujur saya katakan, dulu saya adalah pencopet. Orang yang pernah mencopet dompet Bapak tempo hari adalah teman saya."
Pak Hasan lebih terkejut dari keterkejutannya yang pertama tadi.
"Tapi, kamu sekarang sudah tidak mencopet lagi, kan?" Pak Hasan mencoba memastikan. Meyakinkan diri.
"Alhamdulillah, sekarang saya sudah bekerja menjadi kuli angkut beras. Saya bertekad untuk tidak mencopet lagi, Pak."
"Insya Allah, Bapak percaya. Bapak ingin mengamanahkan anak Bapak. Kau bersedia menikahi anak Bapak yang buta?" Pak Hasan menatap lamat-lamat wajah Faisal. Penuh harap. Beribu harapan agar Faisal mengatakan ’Ya’.
"Apakah Bapak ridho dengan saya?"
Pak Hasan mengangguk pasti.
"Pak, bolehkan saya melihat Azka? Bukan untuk apa-apa, hanya untuk memantapkan hati."
"Oh tidak masalah. Kan Rasulullah juga pernah mengatakan dalam hadist Bukhari dan Muslim ‘Lihatlah terlebih dahulu perempuan itu, sebab yang demikian akan lebih menentukan bagi kebaikan hidupmu selanjutnya’"
Pak Hasan memanggil Azka.
Selang berapa lama, Azka memasuki ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh. Meski tidak bisa melihat, tapi Azka sudah terampil menyajikan jamuan untuk tamu. Dia sudah hafal setiap sudut rumahnya.
Dengan balutan gamis berwarna krem dipadukan jilbab coklat tua, dengan hati-hati Azka menaruh dua cangkir teh manis di meja. Masih hangat. Faisal memperhatikan setiap gerakan Azka. Sebuah desiran halus kini singgah di lubuk hatinya. Gadis lesung pipi itu. Kejadian saat ia mencopet Azka melintas begitu saja di hadapannya.
"Bagaimana Nak Faisal, kau bersedia?" Pak Hasan kembali menanyakan. Semakin berharap. Harapan seorang ayah untuk kebahagiaan putrinya. Azka yang tak tahu menahu soal urusan pada hari itu, kembali masuk ke rumah.
"Bismillahirrahmanirrahim saya siap, Pak!"
Pak Hasan menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, besok kita langsungkan akad nikah!"
"Besok, Pak???” Ini kali kedua Faisal terkejut bukan kepalang dengan kata besok.
”Apa maharnya Pak?" Sebenarnya Faisal ingin menambahkan kalimatnya dengan : saya tidak punya apa-apa.
Dengan tenang Pak Hasan menjawab, "Azka pernah bilang, cukuplah ayat Allah yang menjadi maharnya."
"Maksudnya?"
"Kau punya hafalan Al-Qur’an?"
"Dulu saya pernah hafal Surat Ar-Rahman..tapi sekarang agak lupa."
"Baiklah, nanti malam kau ingat-ingat dan kau hafal lagi surat itu. Besok harus sudah siap. Itu saja. Semoga Allah memudahkan pernikahan kalian."
***
Setelah Faisal meninggalkan pesantren, Pak Hasan memanggil Azka.
"Azka, Alhamdulillah Abi sudah menemukan pendamping yang cocok untukmu. Dia Faisal, seorang pemuda yang baik. Insya Allah, besok pagi kita akan melangsungkan akad nikah. Kamu siap?"
"Alhamdulillah. Insya Allah, lahir dan batin Azka sudah siap. Terima kasih, Abi. Insya Allah, Azka percaya bahwa pilihan Abi adalah yang terbaik untuk Azka."
Hari ini, doa Azka terjawab. Dan jawabannya adalah ’ya’.
***
Udara malam ini terasa berbeda. Dinginnya tak biasa. Karena ada pendar-pendar halus dalam jiwa. Terpekur lama dalam sujud panjang, Faisal tak kuasa menahan tetesan bening dari matanya. Betapa Allah sangat mencintai-Nya, sedang dia masih sering mengkhianati-Nya.
Lantunan doa takzim juga membahana di sudut kecil pesantren Al Munawaroh, putri Kyai Hasan itu sedang menengadahkan kedua tangannya. Meminta pada Sang Pemilik Cinta.
"Ya Allah, jika hamba adalah potongan rusuknya, mudahkanlah jalan menuju pernikahan hamba dengannya. Jika telah Engkau tetapkan dia bagi hamba, bukakan tabir hati hamba untuk menerima dia apa adanya. Jika telah Engkau tetapkan hamba bagi dia, bukakan hijab hatinya untuk menerima hamba apa adanya. Ya Allah, hamba mohon… keridhaan-Mu atas bersatunya hati kami dalam ikatan suci esok hari… Amin Ya Rabbal’alamiin"
***
Keesokan harinya, surau Al Mukharomah mendadak ramai tak seperti hari-hari biasanya. Beberapa santri mondar-mandir menata surau. Sederhana tapi semarak, pertanda akan terjadi peristiwa istimewa di surau itu.
Pukul delapan pagi. Faisal bersama ibu dan beberapa tetangga sekitar tiba. Kehadiran mereka langsung disambut hangat oleh Kyai Hasan dan istrinya. Faisal sedikit tegang. Sebentar lagi ia akan menyandang status baru. Mengemban amanah baru. Pukul 08.30 acara dimulai. Diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan khutbah nikah oleh Kyai Ahmad, salah seorang sahabat karib Kyai Hasan.
Dalam khutbah singkatnya, Kyai Ahmad menyampaikan beberapa nasihat yang dikhususkan untuk calon pengantin.
"Anakku, Faisal Kurniawan! Istrimu adalah wanita yang dijadikan Allah bagian dari hidupmu. Sambut dia dengan penuh takwa. Terimalah dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Istrimu adalah rezekimu. Bersyukurlah dengan kehadirannya. Dan bergaullah dengan mereka dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena kamu mungkin tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Allah menugaskan kamu untuk melengkapi kekurangannya. Allah memerintahkan kamu untuk memperbaiki kelemahannya. Seperti itulah seharusnya suami. Sehingga andai diperbolehkan seseorang bersujud kepada sesamanya, pasti akan diperintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya. Begitulah sabda Rasulullah SAW. Berperilakulah yang baik pada istrimu. Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya.”
Faisal menyimak khutbah Kyai Ahmad dengan serius. Sementara itu, dari kamarnya Azka juga tengah menyimak khutbah tersebut. Dengan mengenakan busana pengantin muslimah berwarna serba putih berkilauan, ia bagai ratu surga.
Sebelum ijab qabul, juga dilakukan proses pemeriksaaan administrasi oleh petugas KUA. Setelah itu, Faisal melantunkan Ar Rahman sebagai mahar yang ia berikan pada calon istrinya. Semua hening saat Faisal melafazkan surat ke lima puluh lima dalam Al Qur’an itu. Sesaat kemudian, Faisal bersalaman dengan Kyai Hasan. Prosesi ijab qabul-pun dimulai.
"Saudara Faisal Kurniawan, saya nikahkan Anda dengan putri saya, Azka Humaira dengan mahar hafalan Qur’an Surat Ar Rahman dibayar tunai."
Faisalpun menjawab, dengan menjabat tangan Kyai Hasan lebih erat.
"Saya terima nikahnya Azka Humaira binti Hasan Rosyadi dengan mahar hafalan Qur’an Surat Ar Rahman dibayar tunai."
SAH!!!
Dan semua orang yang hadir berucap doa…
"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fii khairin…"
Dengan didampingi ibu Faisal dan Bu Fatimah, Azka dibimbing masuk surau.
Pendar-pendar cinta memenuhi setiap sudut surau Al Mukharomah. Semua turut bersuka cita atas terpautnya dua hati dalam ikatan yang suci. Syukur tak terperi tak hanya membahana di ruang hati Faisal dan Azka, tapi semua yang menjadi saksi mata pernikahan suci mereka. Pagi itu, sang bagaskara menyunggingkan senyumnya. Cerah. Secerah hati mereka.
***
Sebulan berlalu.
Sudah hampir tiga minggu Faisal disibukkan dengan usaha barunya. Semenjak menikah dengan Azka, Faisal dan ibunya tinggal di lingkungan pesantren. Faisal membuka usaha toko kelontong dengan modal pemberian mertuanya. Sekarang dia adalah qawwam bagi istrinya, bagi keluarga barunya.
***

Suatu malam menjelang jam satu, Pesantren Al Munawaroh sudah sepi. Para santri sudah terlelap dalam istirahat malamnya. Malam itu, Faisal masih terjaga. Saat menoleh ke kanan, dilihatnya istrinya sudah terlelap.
Subhanallah, cantiknya bidadariku ini,” batin Faisal. Tanpa membuat suara, Faisal beranjak keluar kamar. Ia hendak mengambil wudhu. Sesampai di depan surau Al Mukharomah, Faisal melihat ada bayangan hitam yang berdiri di depan kamar salah satu santri, sedang mencoba membuka jendela kamar itu dengan sebuah alat.
"Hey, siapa kau?!" teriak Faisal.
Bayangan hitam itu kaget dan berlari mendekati Faisal.
"MALING!!!" teriakan Faisal tertahan karena sejurus kemudian bayangan hitam yang ternyata maling itu sudah berada tak jauh di depannya.
Terjadi perkelahian. Faisal kurang bisa membaca gerakan lawan karena lampu yang temaram. Tapi ia cukup sigap menangkis dan menghindari serangan yang bertubi-tubi tertuju padanya. Agak terkejut Faisal tatkala lawannya itu menghunuskan sebuah pisau ke arahnya. Tangan kanannya mampu menahan tangan lawan.
Faisal mencoba memutar tangan lawan dan akhirnya pisau itu terpelanting jatuh. Saat hendak mengambil pisau itu, Faisal mengarahkan tendangannya sekuat tenaga. Maling itu jatuh terjerembab. Faisal berhasil membekuknya. Membuat sang maling tak kuasa berkutik. Faisal mencoba membuka topeng hitam yang dikenakan si maling. Terkejutlah ia. Karena wajah di balik kain topeng itu tak lain adalah sahabatnya.
"Jafar???"
"Faisal???" Jafar pun tak kalah kaget.
"Kenapa kamu ada di sini, Sal?" Jafar penasaran.
"Tak penting buatmu! Kenapa kamu masih mencuri, Far? Tobatlah! Ingatlah akan azab Allah yang akan kau dapatkan nanti jika kau tak mau berhenti dari pekerjaan haram ini."
"Alahh…sok suci kamu! Jangan sok mengajari aku. Biarlah aku menentukan jalan hidupku sendiri. Kalau kau memang temanku, lepaskan aku sekarang sebelum orang-orang pesantren bangun dan mengeroyokku. Aku belum mau mati. Cepat, lepaskan aku!"
"Aku akan melepaskan jika kamu mau berjanji tidak akan mencuri lagi." ujar Faisal
Jafar terdiam sejenak.
"Oke.. aku akan berhenti mencuri. Sekarang, lepaskan aku!"
Faisalpun melepaskan cengkeramannya. Jafar mengambil pisaunya yang terjatuh, menyelipkan di ikat pinggangnya, lalu beranjak pergi.
Faisal menatap kepergian Jafar dengan harapan besar bahwa sahabatnya itu akan bertaubat.
Selang berapa saat, Faisal hendak menuju tempat wudhu. Langkahnya tiba-tiba tertahan. Ada yang menikamnya dari belakang. Sebilah pisau menembus rongga perutnya sebelah kiri. Darah segar bercucuran. Faisal menoleh. Ia tersentak setelah tahu siapa yang menikamnya. Bugh!!! Faisal terjatuh di depan Surau Al Mukharomah sebelum sempat berteriak minta tolong.
“MAMPUS KAU SAL! Cuihh!” si pelaku masih sempat meludahi wajah Faisal.
***
Jam dua malam, Kang Sulaiman berkeliling membangunkan para santri untuk sholat tahajud. Saat melewati depan surau, terperanjatlah ia karena menemukan sesosok laki-laki telungkup dengan perut bersimbah darah. Kang Sulaiman semakin bertambah kaget tatkala dia mengetahui siapa yang terluka itu. Faisal. Seketika itu juga dia berteriak dan para santri menghambur ke arahnya. Faisal sudah tak bernyawa. Sontak semua berucap "Innalillahi wa inna ilaihi roji’un."
Azka bangun hendak sholat tahajud. Saat meraba pembaringan sebelah kirinya, tak ditemukannya sosok yang ia cari. Dia memanggil nama sang belahan jiwanya itu, tapi tak ada sahutan.
Azka berjalan keluar. Baru beberapa langkah keluar kamar, Azka dikejutkan dengan kehadiran ibunya yang langsung memeluk dan berkata sambil terisak.
"Ta-bah-kan ha-ti-mu...sayangku.."
"Ada apa, Ummi? Kenapa menangis?"
Dengan terbata-bata, Ibu Fatimah menceritakan kejadian yang menimpa Faisal.
Azka menjerit dan menangis tertahan, "Inna-lillahi wa- in-na ila-ihi ro-ji’un. La- ha-ula wa-la quw-wata i-la bi-ll-ah…"
"Azka, kamu harus kuat. Ini sudah menjadi suratan takdir dari-Nya. Kamu harus tabah.. sayangku."
Masih sambil menangis, Azka mencoba untuk tabah. "Ummi, antarkan Azka menemui Bang Faisal."
Bu Fatimah dan Azka berjalan beriringan menuju surau Al Mukharomah.
Di surau itu, sudah ada Kyai Hasan dan ibunda Faisal. Semua masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa Faisal. Azka tersungkur di samping jasad Faisal. Dia menangis..
"Suamiku…maafkan aku belum bisa menjadi pendamping yang baik bagimu. Maafkan aku belum bisa membahagiakanmu sampai akhir hayatmu. Aku sangat mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Selamanya.…"
Azka terisak dalam kesedihan yang memuncak.
"Bang Faisal….!!!"
****
Tepat dua hari setelah hari pernikahan.
“Sudah lengkap mengisi formulirnya, Pak?” tanya Dokter Anita.
“Iya sudah. Ini Bu,” Faisal menyerahkan formulir yang baru diisinya.
Faisal keluar dari RS Aini. Rumah Sakit Mata. Ia berencana mendonorkan kornea matanya. Untuk Azka. Istri tercinta
***
Sebuah kamar. Kamar yang penuh cinta. Kamar penuh kenangan. Kenangan bersama suami tercinta. Di kamar itu ia memadu kasih dengan Faisal. Di kamar itu ia bercanda dan berbagi cerita dengannya. Di kamar itu ia bercerita berjam-jam dan suaminya hanya mendengarkan kisahnya tanpa banyak berkomentar. Kamar yang indah.
Hari itu hari pertamanya bisa melihat dunia. Perban yang melingkar di kepalanya sudah dilepas oleh dokter Anita. Dokter Anita bertemu lagi dengan Faisal untuk kedua kalinya, tapi kali ini kondisi Faisal sudah berbeda. Faisal sudah terbujur kaku dan siap diotopsi di rumah sakit tempat dokter Anita bekerja. Saat bertemu Azka, dokter separuh baya itu segera menyampaikan sebuah amanah dari Faisal. Faisal ingin mendonorkan matanya untuk Azka, tepat di hari ulang tahun istrinya yang ke-25. Azka luruh dalam haru saat itu. Sepasang mata yang sangat berarti bagi hidupnya. Hadiah terindah dari kekasih tercinta.
Hari itu istimewa, dua lima tahun sudah usia Azka. Kamar itu kamar pertama yang ia lihat. Jauh dari yang pertama, sebenarnya yang pertama kali ingin ia lihat adalah wajah Faisal, suaminya. Tapi ia sadar, itu tak mungkin. Rasanya baru kemarin ia bercanda dengan suaminya. Baru kemarin ia bermesraan dengan suaminya. Baru kemarin ia memadu kasih dengan suaminya. Baru kemarin.
Ia membuka lemari. Hanya satu yang ingin dilihatnya, wajah Faisal. Pandangan Azka seketika melesat pada album foto. Foto pernikahan mereka. Ia buka halaman pertama. Sebuah surat. Kertas warna pink. Surat cinta. Azka bergetar. Ia rasakan kehadiran Faisal begitu dekat dengannya. Perlahan ia buka lipatan surat cinta itu..

Assalamu’alaikum
Azka sayangku, cintaku, bidadari surgaku..
Adik apa kabar hari ini? Selamat hari lahir istriku sayang. Semoga cinta-Nya selalu terlimpah untuk Adik. Semoga senyum manis Adik selalu mengembang setiap hari. Saat Adik baca tulisan ini, mungkin Abang sudah ndak ada lagi di dunia. Abang sudah di surga Dik. Insya Allah. O iya Dik, abang pengen bilang sesuatu nih, dengerin baik-baik ya…
Abang cintaaaaa banget sama  Adik..
Abang sayaaanggg banget sama Adik.
Abang selalu kangeeeeeeeen sama Adik.
Cium jauh untuk Dik Azka-ku tercinta..

Air mata bening meleleh di lesung pipi putih Azka. Air mata itu mengalir dari matanya. Mata pemberian Faisal. Itu mata Faisal! Seketika senandung syair rindu bertebaran memenuhi setiap sudut kamar. Rindu pada kekasih hati. Rindu pada suami tercinta. Rindu yang tak mungkin berbalas. Rindu dari surga.
Ia lanjutkan membaca tulisan Faisal.

Adik pasti sekarang lagi bahagia kan bisa melihat dunia?
Eh Dik, jangan kaget ya kalo liat foto abang.
Gimana? Abang ganteng kan? Kata ibu-ibu di kampung sih abang ini paling ganteng sekampung..hehe
Dik, jangan pernah nangis ya, itu pesen abang. Selalu lah ceria. Jadi ustadzah yang baik ya di pesantren. Jadikan mereka seperti Adik. Bimbing mereka ke jalan Allah. Abang nitip toko sama nitip ibu sekalian ya. Tolong jagain ibu..
Setiap Adik membuka mata, maka di situ ada abang.
Abang akan selalu ada untuk Adik.
Abang selalu menemani Adik.
Dik, Abang punya satu permintaan. Abang harap Adik bisa memenuhi permintaan Abang yang terakhir ini.
Bismillah.
Dik Azka Humaira yang paling cantik, istriku sayang.. Abang mohon...
M-E-N-I-K-A-H-L-A-H  L-A-G-I.
Abang selalu mencintai Adik. Hari ini, esok dan seterusnya sampai kapanpun. Selamanya...
Abang tunggu di surga ya Dik. Insya Allah.
Wassalamu’alaikum.

Dari yang selalu mencintaimu,
Faisal Kurniawan

Tangis Azka semakin deras tak terbendung. Pipi kemerahannya bagai diguyur derasnya air mata yang mengalir tanpa henti. Rindunya semakin besar pada Faisal. Cintanya semakin menggunung. Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi permintaan terakhir suaminya. Azka tidak mau mengkhianati cintanya pada Faisal, meski Faisal telah tiada. Ia tak mau mengkhianati mata Faisal. Ia tak mau! Sungguh!
“Maafkan Adik, Bang..” kata-katanya mengiringi isak tangis.
“Cinta Adik hanya untuk Bang Faisal seorang...”

Sumber: http://www.islamedia.web.id/

1 komentar: