Suatu hari, seorang kepsek sebuah pondok pesantren (sebut saja namanya Kiai Rais) menyampaikan 'jurus sakti' kepada santri-santrinya. Tak seperti biasanya, dia menggenggam 2 buah golok, serta di pinggangnya terselip sebuah tongkat panjang. Dia naik ke podium layaknya ninja yang siap tempur. Tak lama, suasana ruangan itu tiba-tiba membisu. Tak ada suara sedikitpun, bahkan tak ada bisik-bisik dari seorang santri pun. Di tengah kebisuan itu, dia mengangkat tinggi-tinggi 2 buah golok yang sedari tadi digenggamnya. Yang kanan, bilahnya tampak terbuat dari logam yg berkilat-kilat. Sedangkan yang kiri tampak gelap dengan bercak-bercak cokelat, seperti sudah berkarat.
"Anak-anakku tercinta, coba lihat. Saya membawa 2 buah golok. Satu tajam setelah diasah berkali-kali, yang satunya lagi berkarat dan tumpul. Sementara di pinggang saya ada sebuah tongkat kayu."
Kiai Rais pun meletakkan 2 golok dan tongkatnya tadi di podium itu. Dihunusnya golok yang tajam di tangan kanan, sementara tongkatnya di tangan kiri. Golok tajam itupun dengan cepat membelah udara, menuju tujuan yang telah pasti, tongkat itu. Namun, sejurus kemudian, golok itu berhenti tepat beberapa senti sebelum mengenai tongkat itu. Kiai Rais menatap santri-santrinya. Tiba-tiba, dia memasang muka tersenyum dan bercanda ria. Dia hanya menggesek-gesekkan pedang tajam itu ke tongkat itu. Hanya luka-luka baret kecil yang membekas di tongkat itu.
Tak lama kemudian, dia ganti golok itu dengan golok yang tumpul. Sekarang, dia pasang mimik wajah serius. Dia kerahkan semua tenaganya untuk mengayunkan golok itu. Suara dentingan pun bergemuruh di ruangan itu. Satu kali, dua kali, tiga kali dicoba, tongkat masih enggan untuk patah. Cucuran keringat pun perlahan-lahan terbit di kening Kiai Rais, tanda bahwa dia menggunakan segenap tenaganya. Akhirnya, di ayunan kesekian kalinya, tongkat itupun putus. Dengan nafas terengah-engah, dia menyeka keningnya dengan saputangan putihnya. Lalu, dia mengatur nafas dan menghadap ke arah santri-santrinya, yang tengah terbelalak melihat performance Kiai Rais tadi.
Dengan nafas masih sedikit terengah, Kiai Rais pun menjelaskan maksud dia melakukan itu. "Anak-anak, kalian sudah lihat aksi saya tadi, jurus dua bilah golok. Jurus ini sangat andal dan sakti, namun bukan untuk dipraktekkan dengan tangan, tapi untuk kalian hidupkan dan amalkan segenap jiwa. Cobalah bayangkan. Kalian yang dikarunai bakat luar biasa dan otak cerdas adalah bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan berbagai masalah. Tapi kalau kalian tidak serius dan tidak optimal menggunakan otak ini, hidup kalian tidak akan maksimal. Kayu tidak akan patah. Sedangkan kalian yang kurang berbakat seperti golok yang karat dan tumpul. Walau otak kalian tidak cemerlang, tapi kalau kalian mau bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berusaha, sabar dalam proses perjuangan dan tidak menyerah sedikitpun, maka hambatan apapun lambat laun akan kalian kalahkan. Bahkan dengan golok tumpul pun kayu akan patah kalau dilakukan berkali-kali tanpa lelah. Apalagi, golok tumpul selalu bisa diasah. Otak yang biasa2 saja selalu bisa diperkuat dengan ilmu dan pengalaman. Usaha yg sungguh2 dan sabar akan mengalahkan usaha yg biasa2 saja. Kalau bersungguh2 akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh2 dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wajada dan man shabira zhafira adalah kesuksesan."
Para santri pun bertepuk tangan atas pidato dari Kiai Rais tadi. Mereka telah mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari 2 bilah golok.
Sumber: Novel Ranah 3 Warna (dgn beberapa pengubahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar