Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Minggu, 06 Februari 2011

Aku Mencintaimu Suamiku (Cerpen)

Cerita ini adalah kisah nyata…
dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh
seorang istri dalam sebuah laptopnya.
Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
(semoga menjadi pengingat bagiku, ketika ku sudah melangkah ke
dalam kehidupan baru)

***

Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???
Hari itu, aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah…..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan dan mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu..
dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci ….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku …
sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku,
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku.
Dan aku bahagia menikah dengannya.

***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri,
sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja,
karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…
Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.
Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku.
Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha
menutupi hal itu dari suamiku …
Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku,
tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka …
Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda
itu.
Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan.
Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an.
Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku,
aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami,
aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar,
Aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan,
“Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku.
Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku.
Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.
Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat.
Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta.
Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya,
perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga.
Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,
aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.
Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka-luka di kepala suamiku,
baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin.
Dan suamiku pun mengijinkannya.
Kemudian aku pun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”
Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku.
Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama.
Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh
suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya Salah ataupun Tidak, suamiku tetap saja membenarkannya.
Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit.
Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku.
Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya,
aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami,
suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan,
ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”,
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”,
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan ?”,
“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku ”, jawabnya tegas.
“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan
rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.
”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.
Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.
Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama Suamiku,
tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku,
karena Suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya,
jadi seluruh keluarganya harus komplit.
Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya.
Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman,
karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya.
Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak,
tapi aku tak boleh berburuk sangka.
Aku harus percaya apada suamiku.
Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri.
Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit.
Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali.
Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini,
sampai-sampai aku mengalami pendarahan.
Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana.
Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.
Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku..
namun aku tak bisa memberikannya keturunan.
Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan
bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku.
Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..
Lebih baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku juga tak mau
membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan
cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi
hari aku hitung …
Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang
melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms
yang masuk.
Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu
hari lagi, aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku
pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba,
aku menantinya di rumah.
Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai
parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan
nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg
buruk akhir-akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap
salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras
namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu,
kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang
masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa
reaksinya..
Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan
langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa
bertanya kabarku..
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan
bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3
malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang
Maha Pencipta.
Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur
sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya
mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat
tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka ’at.

***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat
dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu
aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil
jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan
darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu
cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan
suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?
Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu.
Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan
kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku
bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng
ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa
suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa
ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah
melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya
berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya
aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya
dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah..
Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina
dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku
yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat..
sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di
atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku
menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang
asing yang baru saja berkenalan.
Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun
kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan
segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan
baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku
minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah
aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai
seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya
untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang
telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu
menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah
makan malam usai, suamiku memanggilku.
“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi
kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi
antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan
dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak
ku kenal lagi.
Lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang
asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang
dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat
dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin
rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan
nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan
itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa
bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini,
dalam kesendirianku..
***
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena
semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya
juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak
tahu ada acara apa ini..
Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah
didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan
keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya
ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang
telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang
sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul
diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada
ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman
peninggalan belanda.
Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk
penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.
Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling
berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.
“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan
kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata
yang tajam.
”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda
kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan suamiku?
“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu..
sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala,
tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau. ” Neneknya
berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu
semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang
kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan
dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya.
Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak
punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari
ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian
berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“
MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan
remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya
bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang
tinggal di pulau kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun
belakangan ini.
“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk
menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang
dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku
dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah.
‘’Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut
baik seorang wanita baru dirumah kami..”
Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan
pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata,
tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan
menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”
Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan
pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam
pernikahan ini Nek?. ”
Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”
”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk
menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah
berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.
Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat,
aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin
berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini,
cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..
Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2
tahun belakangan ini?
Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin
sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“
Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok.
Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi,
rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian
tengahnya.
Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia
berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera
memandangnya dari cermin meja rias itu.
Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan,
“terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak
perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”
Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia
tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya
mengatakan jangan salah memakai shampo.
Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak
memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat
yuk!“
“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.
Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur
waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut
sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin
takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat
memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu..

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan
hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku
marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis
melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia
berlaku sekejam itu kepadaku. Aku
save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”
Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk
keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena
mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri
sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian
pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?”
Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk
kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci
kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin
bacakan do ’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan
padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak
sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis
meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika
aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar …
“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk
menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa
bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia
agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya
sedadanya saja.
Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia
memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama”..
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat
dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana
saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen
belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah?
Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa
aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku
memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah
baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang
aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung
bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata,
” Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali.
Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres
denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya
dengan penuh khawatir.
Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali
seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara
sekarang “. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia
khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah
tersebut.

***

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang
suamiku.
Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu,
membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah
jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.
Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut.
Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante
yang baik itu, memelukku.. Dalam hati aku berusaha untuk
menguatkan hati ini. Ya … aku kuat.
Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan.
Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka
melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku
yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu
saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya.
Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?
Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak
seperti aku dahulu, yang di musuhi.
Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur
dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa
yang sedang mereka lakukan didalam sana.
Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk
berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur
disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak
tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu
sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang
tangan kiriku, tentu saja aku kaget.
“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku
tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata,
“ maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena
ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan
mama, papa dan juga adik-adikku ”
Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung
mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat.
Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah
Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini.
Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan
kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”
”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi.
Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut
suamiku menjawab seperti itu.
Lalu suamiku berkata, ”Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan
bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus
mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar
harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan
mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat
“ seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”).
Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir
kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah,
terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu
memanjakan bunda.. ”
Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada
kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang
tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan
seumur hidupku ini.
Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak
pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya
mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak
lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.. Jika aku hanya
mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena
menderita mencintaimu.. “
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku
sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan
masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta
sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku
pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan
suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit..
Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah..
Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa
kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda,
Ayah minta maaf…”
Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa
yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang..
bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana
ya, Yah.. ”
“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang
banget sama Ayah.”
Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas,
kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang
tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup
dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..
Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran
sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan
anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu. Ketahuilah Ma.. dari
dulu aku selalu berdo ’a agar Mama merestui hubungan kami.
Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya
buktinya Ma?
Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma?
Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka
kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan
dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku.. Dengan Desi kau
sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.. ”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

==========================
===========================
Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka ayah..
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya
karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah
ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..
Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia
memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku.
Mengapa seperti itu ayah ?
Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu
pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..
Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku.
Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.
Aku sangat marah..
Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela
Desi dan
ibunya..
Aku tak mau sakit hati lagi..
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..
Engkau Maha Adil..
Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..
Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja
lagi padamu..
Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus
menyerangku..
Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan
yang aku benci, yang aku cemburui, tapi aku tak boleh egois, ini
untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri.
Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu..
Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela..
Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga
saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum
ajal ini menjemputku.
''Ayah.. aku kangen Ayah..''
=====================================================

’’Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau
Kayu ini.
Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink
yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri. ’’
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur..
Bunda akan selalu hidup dihati ayah..
Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..
Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan
telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak
pernah dicucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit
pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..
Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin Ayah masih
bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus..
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..
Bunda.. kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui..
Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..
Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu
terlihat di tidurmu yang panjang..
’’Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku
selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak
durhaka.
Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu
saja..
Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana
Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..
’’Ayah Sayang Bunda….’’

Sumber: Cinthia Dewira's notes

Maaf ya kalo kepanjangan, hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar