Malam itu, kegelapan seolah tak mau berbagi tempat dengan sang bulan. Angin pun terus ditiupkan seolah memberi kabar bahwa badai akan datang. Tapi, itu tak menyurutkan langkahku untuk terus melangkah ke rumah. Ya, aku baru saja pulang dari sholat tarawih di masjid. Dan, aku bertekad untuk belajar malam ini.
“TOK! TOK! TOK! Assalamu’alaikum bu! Said pulang!”, ujarku setelah sampai di depan pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam!”, balas ibuku sembari membuka pintu rumah.
Aku pun mencium tangan ibuku dan langsung menuju ke kamarku. Aku pun membuka buku pelajaranku dan belajar. Mmm, oh ya, sekarang aku sudah kelas 1 SMA. Alhamdulillah, aku diterima di salah satu sekolah unggulan di Jakarta. Di sekolahku, benar-benar luar biasa murid-muridnya. Cerdas dan berkualitas.
Tak terasa, sudah jam 22.30! Waw, aku harus segera tidur, supaya bisa bangun pagi. Aku pun mengatur alarmku supaya berdentang pada jam 03.30. Lalu, mematikan lampu dan tidur.
****
Jam menunjukkan pukul 05.45. Aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Aku pun mencium tangan ibuku, kemudian menuju mobil bersama adik-adikku, Maryam dan Aisyah. Keduanya sudah kelas 6 SD sekarang. Kami pun melesat membelah kesunyian di pagi itu.
Sesampainya di kelas, aku langsung diserbu teman-teman yang ingin bertanya seputar PR Matematika. Anehnya lagi, mereka memanggilku dengan sebutan ‘Pak Ustad’, padahal kan aku lulusan SMP Negeri? Tapi biarlah, semoga itu doa yang akan dikabulkan oleh Allah SWT. Aamiin…
Pelajaran demi pelajaran pun kulewati. Akhirnya, tibalah jam pelajaran terakhir, pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam). Jujur saja, aku nggak begitu suka dengan pelajaran yang satu ini. Sebenarnya, yang membuatku tidak suka adalah gurunya. Pak Fattah namanya. Beliau sudah berumur hampir 60 tahun. Jika dia bicara, siap-siap yang duduk di bagian belakang tak mendengar (bukan karena ngomongnya tidak jelas, tapi karena suara beliau memang kecil.)
Kamipun berjalan menuju ke kelas yang akan ditempati (karena di sana sistemnya moving class). Sepanjang perjalanan, aku dan beberapa temanku merencanakan sesuatu yang akan dilakukan pada pelajaran itu. Ya, kami harus mendapatkan bangku paling depan! Kami pun berlomba-lomba untuk mendapatkan bangku paling depan.
Namun, sesampainya di kelas, suatu keadaan yang membuat mulut kami ternganga telah menunggu rupanya. Tak disangka, Pak Fattah mengetahui kelemahannya, sampai-sampai beliau memasang speaker dan menyiapkan mic. Agar suaranya terdengar oleh semua murid tentunya. “Hebat sekali beliau, beliau rela seperti itu agar pelajaran yang beliau sampaikan diterima oleh murid. Subhanallah”, batinku dalam hati.
Pak Fattah pun mulai memberikan ilmunya. “Nah, begini kan enak, kedengaran suaranya”, batinku lagi. Untaian-untaian nasihat dari Pak Fattah tersalurkan dengan baik ke dalam otakku. Lalu, pelan-pelan, mulai merasuk ke dalam hati. Kami hanya terdiam mendengar nasihat dari Pak Fattah. Begitu menyejukkan, pikirku.
Jam menunjukkan pukul 11.30. Bel pulang pun berdering. Memang, jika bulan Ramadhan, jam pulangnya lebih cepat dari biasanya. Di hari biasa, jam 14.00 baru keluar dari kelas. Tidak seperti di SMP, murid-murid sekolahku keluar dengan tertib. Ada yang pulang memakai motor sendiri, ada yang naik angkot, ada juga yang dijemput. Aku termasuk yang ketiga, hehe. Aku terbiasa menunggu Pak Tommy, supirku, di areal masjid. Entah mengapa, suasana hatiku tenang ketika berada di sekitar masjid.
Aku hanya terdiam menunggu di tangga. Berharap semoga Pak Tommy cepat datang. Tiba-tiba, Pak Fattah duduk di sampingku. “Sedang menunggu dijemput ya?”, tanya beliau kepadaku dengan lembut.
Wajah beliau yang masih basah akibat wudhu itu, kutatap dalam-dalam. Begitu bersih, begitu bercahaya. Aku bisa menebak kalau beliau adalah orang yang tawadhu’. Tak ada aura sombong yang terpancar dari wajahnya. “I..Iya, Pak..”, jawabku setelah terdiam beberapa lama memerhatikan wajah beliau.
“Daripada bengong, mending masuk dulu yuk ke masjid untuk tilawah. Lebih bermanfaat kan?”, ajak Pak Fattah. Ajakannya itu membuatku semakin kagum kepada beliau. Akupun ikut ke dalam masjid dan tilawah sembari menunggu adzan Zuhur. Tak lama kemudian, HP-ku bergetar. Ternyata telpon dari Pak Tommy. Dia sudah sampai rupanya. Akupun pamit pulang kepada Pak Fattah yang disambut senyuman oleh beliau. “Lain kali, sholat Zuhur di sini dulu ya…”, pesan beliau kepadaku. Aku pun mengangguk, lalu bergegas menuju Pak Tommy yang sudah menunggu. Kamipun melesat pulang.
****
Haahh, akhirnya sampai juga di rumah. Aku langsung mengambil air wudhu untuk mendirikan sholat Zuhur. Setelah sholat Zuhur, perasaan BT yang luar biasa langsung menghinggapiku. “Huuhh, ke kamar aja ah, BT nih..”, batinku seraya masuk ke kamar, lalu merebahkan diriku di kasur. “Aduh, enaknya ngapain ya?”, batinku lagi. Akupun mengambil HP untuk sms-an sama teman. Aku mencoba untuk nge-sms beberapa teman perempuan dan laki-laki. Sayangnya, yang membalas cuma teman perempuan. Aku ngobrol, sampai akhirnya aku terjebak ke dalam perangkap setan. Aku mulai terbujuk untuk menanyakan nomor HP perempuan yang kusuka di SMP. Aku juga bikin FB, dengan tekad ingin menjadikannya ladang dakwah.
Perempuan yang kusuka itu bernama Vina. Satu-satunya perempuan yang memakai jilbab di kelasku waktu itu. Wajahnya cantik dan putih, akhlaknya baik, pintar lagi! Jelas saja aku menyukainya. Namun, dulu aku tak pernah berbicara dengannya. Aku takut terjerumus. Namun, entah mengapa, sekarang justru aku ingin sekali menyapanya. Aku berpikir bahwa dulu aku tidak pernah menyapanya, sekaranglah saatnya! Entah mengapa aku jadi berpikir begitu.
Setelah tau nomor HP-nya, aku jadi sering berkomunikasi dengan Vina. Secara sembunyi-sembunyi tentunya. Baik itu sms-an ataupun telpon-telponan. Anehnya, Vina terus menanggapi sms yang kukirim ke dia. FB juga menjadi sarana komunikasiku dengan dia. Walaupun, tak berani aku ngomong masalah cinta.
****
Bulan demi bulan pun berlalu. Aku masih tetap seperti itu hingga beberapa hari lagi menjelang ujian akhir semester 1. Aku melihat nilai-nilai ulangan harianku, yang selalu kusembunyikan dari orang tuaku.
“Ya Allah, nilainya standar semua…”, ujarku ketika melihat hasil-hasil usahaku. Aku mencoba untuk mencari apa yang membuat nilaiku seperti itu. Namun, belum bisa kutemukan.
Aku tak ingin menceritakan masalah ini ke orang tua. Aku khawatir mereka terpukul dengan keadaanku. Akhirnya, kuputuskan untuk menceritakan kepada Pak Fattah saja. Namun, karena hari sudah malam, aku memutuskan untuk bertemu besok.
Keesokan harinya, ketika bel istirahat berbunyi, aku bergegas mencari Pak Fattah. Kutanya kepada beberapa guru, dan jawaban mereka rata-rata sama : Pak Fattah di masjid! Aku pun mempercepat langkahku ke masjid. Sesampainya di sana, kulihat beliau sedang mendirikan sholat Dhuha. Terenyuh hatiku melihat beliau. “Beliau yang sudah tua saja semangat ibadahnya, masa’ kamu yang muda nggak semangat!”, batin nuraniku menyalahkanku. Akhirnya, kuambil air wudhu dan melaksanakan sholat Dhuha juga. Setelah selesai, kuhampiri beliau, yang untungnya belum beranjak dari masjid.
“Assalamu’alaikum Pak Fattah”, sapaku.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab beliau. “Ada apa mencari bapak?”, tanya Pak Fattah.
Akhirnya, kuceritakan masalah-masalahku. Mulai dari kesulitan belajar, hingga masalah cinta yang sedang menerpaku.
“Said, tak perlu khawatir, suka kepada lawan jenis pada masa-masa kamu adalah hal yang normal. Tetapi, kamu juga harus membatasi, bahwa rasa sukamu tidak menjadikanmu lupa belajar, lupa ibadah, dan lain sebagainya. Jadikan itu hanya sebagai bukti, bahwa kamu normal menyukai lawan jenis.”, jawab beliau dengan lembut.
“Berarti Pak, itu yang membuat nilai saya anjlok?”, tanyaku.
“Masalah itu tergantung orang menyikapinya Id, jika dia dapat menjadikan rasa kagum itu untuk mengalahkan dia, yang terjadi justru sebaliknya, nilai dia akan meningkat. Namun, jika dia menjadikan itu sebagai hawa nafsu yang harus dilampiaskan, yang harus diteruskan, maka akan bernasib seperti kamu, bahkan lebih parah lagi.”, jawab Pak Fattah sambil membelai rambutku.
“Apakah perasaan itu harus dihilangkan?”, tanyaku lagi.
“Oh, tidak.., solusinya bukanlah menghilangkan, tapi membatasi perasaan itu, di mana kamu harus membatasi komunikasi dengan dia. Sebab, jika tidak, kamu akan terus terjerumus.”, jawab beliau dengan penuh wibawa. “Satu hal lagi, Al-Qur’an juga dapat membatasi perasaanmu itu. Sebab, Al-Qur’an juga adalah penenang hati ketika sedang dilanda gejolak cinta yang luar biasa. Dekatkan diri-Mu kepada Allah dan Al-Qur’an, maka insya allah gejolak itu akan dapat kau kendalikan”, tambah beliau.
Aku hanya terdiam dan menyesali semua kekeliruanku. “Coba aku tetap seperti di SMP dulu, mungkin tak akan seperti ini”, batinku. “Terima kasih Pak atas nasihatnya! Mudah-mudahan saya bisa melaksanakan itu semua. Assalamu’alaikum!”, ujarku sembari mencium tangan beliau.
“Wa’alaikumussalam…”, jawab Pak Fattah.
****
Seminggu telah berlalu. Tibalah waktunya EHB semester 1. Aku teringat tips-tips belajar kakakku dulu. Aku bertekad akan membuatnya bangga dengan hasil-hasilku. Aku terus belajar dan belajar. Dan tak lupa meningkatkan ibadah kepada Allah juga tentunya.
Akhirnya, masa-masa EHB telah usai. Aku hanya tinggal menunggu hasilnya di pembagian raport nanti. Ibuku berpesan,”Jangan kau sia-siakan jasa dari orang-orang di sekitarmu. Bahagiakan mereka dengan hasil yang bagus.”
****
Namun, hari pembagian raport yang kutunggu justru menjadi hari yang mengerikan untukku. Bagaimana tidak? Sudah berdoa, belajar semaksimal mungkin, meninggalkan komunikasi dengan dia, tapi hasilnya justru tidak memuaskan. “Uhh, tau begini mending aku nggak usah susah payah begitu!”, gerutuku. Aku kecewa karena telah mengecewakan orang-orang yang telah berjasa bagiku.
“Said! Tak apa, mungkin ini adalah sebuah ujian untukmu. Apakah kamu akan tergoda lagi atau kamu justru semakin terpacu untuk meraih hasil maksimal.”, tulis Pak Fattah di wall FB-ku.
“Ya, memang, jika ingin menggapai bintang, pastilah ada hambatan di antara tempat kamu berpijak dengan bintang itu sendiri. Ada pesawat, ada burung, ada awan, dll. Namun, justru itulah yang membuat langit semakin indah bukan?”, tulis Pak Fattah lagi.
“Hahaha, memang benar, kalau ingin mencapai sesuatu, pastilah banyak hambatannya. Namun, justru itulah yang akan membuat hidup kita lebih bermakna.”, tulisku mengomentari pesan dinding Pak Fattah. “Tenang saja Pak, insya allah saya akan lebih berusaha lagi!”, batinku dalam hati.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara di belakangku,”Hayoo… udah malem, jangan OL terus, tidurlah…” Ternyata suara bapakku. Akupun logout, mematikan komputer, dan masuk ke kamar untuk tidur.
Notes: Tak semua yang kita harapkan akan terwujud, namun sadarilah, itulah keindahan hidup. Jika semua terwujud, hidup gak ada tantangannya kan? Gak seru kalo begitu mah, hehe…
Muhammad Jauhar Al-Fatih (Siswa SMAN 78 Kelas X-C)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar