Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Selasa, 02 Agustus 2011

Sebuah Pemberian

            
             Hari pertama masuk sekolah. Setelah 2 minggu menjalani liburan pergantian semester. Seperti biasa, pukul 04.45, bertepatan dengan berkumandangnya adzan Subuh, aku terbangun dari tidur lelapku. "Alhamdulillahilladzii ahyanaa ba'da amaa amaatanaa wa ilaihin nusyuur", ucapku sambil mengusap-ngusap mata. "Selamat datang hari yang penuh semangat...!" Aku bergegas bangkit dan keluar dari kamar, untuk mengambil air wudhu. Tetesan-tetesan bening air itu menyegarkan kembali badan ini setelah dilanda keletihan kemarin. Cucuran air itu juga -Subhanallah- mengeluarkan dosa-dosa dari bagian tubuh yang kubasuh. Luar biasa.
            Abi rupanya sudah menungguku di depan pintu, dengan mengenakan peci dan sarung. "Ayo Fatin, ke masjid bareng." Aku pun menyambar peciku dan menyusul Abi yang sudah berdiri di ambang pintu.
            "Subhanallah, udaranya segar sekali pagi ini ya Tin"
            "Iya Bi, segar sekali"
            "Tin, gimana, sudah siap menghadapi semester dua di kelas 2 SMA?", tanya Abi sambil nyengir.
            "Insya Allah siap Bi, hehe"
            "Nggak terasa nak, kamu sudah sedewasa ini. Perasaan baru kemarin Abi gendong-gendong kamu deh, hehehe", candanya.
            "Hehe, iya Bi, aku juga nggak ngerasa. Aah… Akhirnya, bisa kembali ke lingkungan Rohis yang Islami setelah 2 tahun ngga gabung.”
            “Bersyukurlah Nak, kamu akhirnya tersadarkan oleh teman seperjuanganmu dulu.”
            “Iya Bi, Alhamdulillah.”
            Tiba-tiba, suara iqomah sudah terlantun. Kamipun mempercepat langkah kaki agar segera sampai di masjid.
****
            Oya, perkenalkan, namaku Fatin. Nama lengkap Abdullah Fatin. Artinya, hamba Allah yang cerdas. Nama yang cukup simple bukan? Alhamdulillah, doa kedua orangtuaku ini terkabul. Aku benar-benar menjadi hamba-Nya yang cerdas, hehe. Aku terdaftar sebagai seorang siswa di sebuah SMA Negeri unggulan di daerah ibukota. Kelas 2 SMA. Aku anak sulung dari 4 bersaudara. Aku hobi membaca buku, mendengar nasyid, dan bermain game. Oke, inilah perkenalan singkatku. Maaf jika memotong di tengah-tengah cerita hehe  (penulisnya sih iseng banget, perkenalan diri kok bukan di awal gitu lho). Oke, kembali ke cerita…
****
            6 bulan yang lalu…
Ruang 4.03. Ah, melelahkan sekali. Baru hari pertama masuk kembali, sudah dapat kelas di lantai 4. Benar-benar sebuah perjuangan. Begitu masuk kelas, aku langsung duduk di salah satu kursi di barisan depan. Memang, aku suka duduk di barisan depan. Sebab, aku merasa lebih nyaman mendengarkan penyampaian guru ketimbang duduk di barisan tengah, apalagi belakang.
            “Tin, duduk di sebelah gue yuk”, ajak Taufik, teman sekelasku ketika kelas 10 dulu.
            “Oke, tapi lu yang pindah ke sini ya, gue ngga mau duduk di barisan belakang”
            “Oke, siiplah Tin. Apa kata lu dah”, ujarnya mengiyakan.
            Bel masuk berbunyi. Sudah menjadi program di sekolahku, setelah bel berdering, selama 15 menit, digunakan untuk membaca ayat suci Al-Qur’an. Seperti biasa, pagi itu juga salah satu anak Rohis melantunkan ayat suci Al-Qur’an melalui mikrofon yang terhubung ke semua speaker yang terpasang di masing-masing kelas.
            Namun, sayangnya tak banyak yang mengikuti program tersebut. Bagaimana tidak? Sangat jarang ada guru yang mengawasi para siswa di kelas ketika dilantunkan ayat Al-Qur’an. Termasuk aku. Meskipun aku sudah siap sedia dari rumah membawa Al-Qur’an, tetap saja, aku tergoda untuk mengobrol dengan teman-teman.
            Tetapi, sepertinya berbeda dengan pagi ini. Suara sang pelantun begitu merdu dan… begitu akrab di telingaku. Siapa dia? Ah, suara ini membuatku ingin sekali mengikutinya membaca Al-Qur’an. Kuambil mushaf kecilku dari tasku, lalu kubaca satu per satu ayat yang dibaca hari ini. Sudah sampai Surah Al-Hadiid rupanya. Wajarlah, karena kegiatan ini sudah dimulai sejak 1,5-2 tahun yang lalu. Aku merasa tenteram membaca ayat-ayat ini, ditambah dengan suara merdu sang pelantun. Subhanallah…
            Tiba-tiba, ketika sampai di pertengahan, hatiku bergejolak hebat. Aku merasa seperti ditimpakan kesenduan yang sangat. Alunan sang qori’ yang begitu syahdu menambah kegalauan di hatiku. Aduhai… seandainya aku tahu makna di balik ayat ini, aku dapat mengetahui sebab kesenduanku ini. Sungguh, ingin tumpah rasanya air mata ini, namun, apa boleh buat. Aku sedang berada di kelas, dan guru baru saja masuk ke kelas. Jadi, aku harus menahannya.
****
            Bel istirahat berdering. Saat ingin keluar kelas, tiba-tiba Taufik memanggilku untuk kembali ke kursi.
            “Kenape Fik?”
            “Gue bingung sama elu Tin. Lu kan termasuk alim lah, tapi kok lu ga mau masuk Rohis?”, tanyanya secara terang-terangan. Pertanyaan seperti ini sudah beberapa kali dilontarkan olehnya. Aku maklum. Karena, dia termasuk salah satu aktivis Rohis di sekolah. Dan kurasa, ia ingin sekali aku masuk Rohis.
            “Kan gue udah berkali-kali bilang, gue males masuk Rohis.”
            “Kenapa lu males? Kan di situ kita bisa belajar banyak hal. Bisa belajar tentang organisasi, memperkuat ukhuwwah, menyirami hati yang tandus, membentuk karakter Islami...”
            “Ah, apa kata lu dah.”, selorohku sambil meninggalkan dirinya yang terbengong-bengong mendengar jawabanku. Tapi, kulihat dia segera beranjak dari tempat duduknya. Aku yakin dia akan menuju masjid. Melaksanakan sholat Dhuha. Sama sepertiku.
            Setelah melaksanakan sholat Dhuha, aku pun hendak kembali ke kelas. Namun, seseorang merebut perhatianku. “Dia… tidak mungkin!”, batinku. Orang yang kupandangi juga melirikku. Lalu, dengan wajah berhiaskan senyum berbinar, ia menghampiriku.
            “Assalamu’alaikum akh Fatin, bagaimana kabar antum?”, sapanya sambil mengulurkan tangan.
            “Wa… Wa’alaikumussalam akh Said… Alhamdulillah… kabar ana baik”, jawabku sedikit tergagap. “Antum sendiri gimana kabarnya? Terus, antum kok tiba-tiba ada di sini?”
            Dia tersenyum. “Alhamdulillah ana luar biasa baik akh. Haha, antum nanyanya gitu banget. Ana pindah ke sini akh. Soalnya, di sini kabarnya lingkungan Rohisnya bagus, jadi ana minta dipindahkan ke sini.”, jawabnya, masih dengan senyumnya yang berbinar. Aku hanya menanggapi dengan senyuman kecut.
            “Oya, antum kok susah banget diajak reunian Rohis SMP kita? Padahal, kita bisa sharing tentang pengalaman-pengalaman kita masing-masing di SMA lho.”
            “Ah, antum  kaya’ ga ngerti ane aja.”, jawabku ketus.
            Dia tertunduk sejenak, lalu menghela nafas panjang. “Ana ngerti perasaan antum kok. Ana juga minta maaf atas insiden waktu itu. Seharusnya, kita mencari jalan keluar sama-sama, bukan malah mengucilkan antum.”
            “Sebagai permintaan maaf ana, nih, ana kasih sesuatu.”, lanjutnya. Sebuah kepingan CD berwarna putih tanpa tulisan disodorkannya padaku.
            “Apa isinya Id?”
            “Liat aja di rumah, nanti juga tahu”, jawabnya misterius. Akupun menerimanya. Lalu, kamipun berpisah, karena ruang kelas kami berbeda.
****
            Pukul 14.00, bel pulang berdering. Sebagian besar siswa langsung berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Sedangkan sisanya tetap berada di sekolah karena mengambil mata pelajaran tambahan. Dan aku, kebetulan sedang tidak ada mata pelajaran tambahan. Sehingga, aku langsung pulang ke rumah.
            Said Abdul Jabbar. Nama yang tak asing di telingaku, bahkan sangat akrab. Dia merupakan teman seperjuanganku di Rohis SMP dahulu. Dan, ia merupakan rekan satu divisi. Saat itu, kami sama-sama menjadi bagian dari divisi dakwah. Ia ketuanya, dan aku asisten terpercayanya. Pada masa awal, aku menjadi salah satu ‘pentolan’ Rohis. Cukup disegani.
            Pada masa itu, terutama usia-usia kami –remaja-, sedang marak-maraknya Virus Merah Jambu. Ketika itu, tugas kami (yang saat itu sudah kelas 8) adalah memberi tausiyah dan peringatan serta rambu-rambu mengenai virus ini, kepada para junior kami. Kami telisik segala komunikasi yang menjurus ke arah virus ini. Tak hanya kepada junior, kamipun turut menyebarkan tausiyah lewat buletin dan blog kami, sehingga makin banyak yang sadar akan bahayanya virus ini.  
            Sayang sekali, saat itulah titik balik dalam diriku terjadi. Aku terhinggapi virus mengerikan itu. Ya, aku terhinggapi. Aku menyukai akhwat junior bernama Faizah. Tania Faizah nama lengkapnya. Dari awalnya ‘hanya’ mengirimkan nasihat-nasihat, hingga akhirnya terjebak dalam rayuan gombal ikhwan dan akhwat.
            Hubunganku dengannya tercium oleh sang ketua Rohis, Muhammad Ghufron. Ghufron pun mendiskusikan masalah ini –tanpa sepengetahuanku- kepada anggota lainnya. Saat itulah, Said mengusulkan, agar aku dilepaskan dari amanah menjadi asistennya.
            Kabar ini pada awalnya tak kuketahui, hingga akhirnya, aku sadar. Aku tak pernah diberi tugas. Hingga akhirnya aku meminta penjelasan kepada Said.
“Id, kok ane ngga pernah dikasih tugas?”
“Akan ana kasih tugas kalau antum udah sembuh dari virus itu, Tin.”
“Tapi, ane kan ngga separah orang-orang di luar sana, yang sampai jalan bareng, berduaan, melakukan sentuhan, ciuman, dsb… Ane kan cuma SMS-an!”
“Itulah masalahnya, Tin. SMS-an dan telpon-telponan merupakan pintu awal menuju kerusakan itu. Memang canggih sekali virus ini, bahkan sampai memengaruhi kamu yang bisa dibilang cukup alim. Sembuhkan dirimu dulu, Tin.”
Aku kesal saat itu. Akupun mengatakan padanya kalau aku mengundurkan diri dari Rohis dan tidak akan kembali. Said hanya menanggapi dengan wajah tertunduk .
“Semoga antum tidak sungguh-sungguh dengan ucapan antum.”, ucapnya. Nadanya begitu sedih dan getir.
Akhirnya, aku malu sendiri, hingga liqo’ kutinggalkan begitu saja, dan memutus kontak dengan mereka. Terus begitu hingga lulus,  sampai aku bertemu dengan Said tadi.
****
            30 menit perjalanan pulang kuhabiskan untuk mengingat masa laluku tadi. Alasan mengapa aku tak mau lagi berhubungan dengan yang namanya ‘Rohis’. Alasan mengapa wajahku masam ketika bertemu Said. Kebencianku membara karena tak ada yang mengabariku akan hal itu.
            Namun, apa boleh buat, itu hanyalah masa lalu. Sekarang saatnya melangkah memulai lembaran baru.
            Kurebahkan tubuhku sejenak di kasur. Lelah sekali rasanya hari ini. Belum hilang rasa pegal dan penatku, tiba-tiba aku teringat ayat itu. Ayat yang –ternyata- dibacakan Said tadi pagi. Aku segera bangun dan mencari Al-Qur’an terjemahan. Aku membolak-balik halaman demi halaman untuk mencari satu ayat. Al-Hadiid ayat 16.
            “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)…”,batinku perlahan. Ini. Inilah ayat yang membuat hatiku bergetar sedemikian hebat. Tak salah lagi. Akupun memutar memori ke arah masa lalu. Kudapati begitu sering diriku tidak menaati perintah-Nya. Dan kudapati diriku sangat jarang khusyuk ketika sholat. Bahkan lebih sering pikiranku mengawang pada sesosok Faizah yang telah mendominasi hatiku. Astaghfirullah… Aku terduduk lemas.
            “…dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras…”, kulanjutkan ayat itu. Masya Allah, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah hatiku sudah begitu keras? Hingga nasihat Said tak menghalangi sikap burukku? Sehingga ajakan Taufik untuk masuk Rohis tak meluluhkan hatiku? Astaghfirullah… Mataku mulai berkaca-kaca.
****
            Alunan adzan ashar menggema. Mengetuk pintu-pintu hati manusia. Mengajak mereka melepas rindu untuk bertemu Sang Pencipta, Allah SWT. Mengajak mereka mengadu, bermunajat, merendahkan diri di hadapan-Nya. Ya, alunan itu telah merasuki hatiku. Menghangatkan kebekuan yang telah menghinggapi hatiku. Akupun bangkit dan mendirikan sholat Ashar.
            Di dalam lantunan doaku, aku terbayang wajah Said, yang begitu sabar menghadapi tingkah lakuku tadi pagi. “Ya Allah, Ya Robbi, kembalikan ikatan ukhuwwah kami, sehingga kami dapat bergandengan tangan menuju ridho dan surga-Mu.”
            “Ah, harusnya aku yang meminta maaf padanya. Tak seharusnya aku melawan nasihatnya dahulu. Nafsu telah membutakan mata hatiku saat itu. Ah, ini juga bukan salah cinta. Juga bukan salah si nafsu. Ini salahku, ini kealpaanku. Karena imanku begitu lemah, begitu rapuh, sehingga mudah dijerumuskan oleh nafsu.”, batinku. “Aku yang harus minta maaf padanya.”
            Hah, ngomong-ngomong soal minta maaf, bukankah tadi pagi Said memberikanku sekeping CD sebagai permintaan maaf? Aku melipat sajadah dan menonton CD itu di computer kamar.
            “Ini…”, itulah ucapanku pertama kali ketika melihat video itu. Mataku mulai berkaca-kaca. “Ya Allah…”, ucapku sambil terisak. Air matakupun menetes.
Bersambung…

2 komentar:

  1. yahhhh...lanjutin donk bro ! seru nih, khas banget kata-kata, alur, secara keseluruhan, style ala fatih.

    BalasHapus
  2. Hmm... Insya Allah Rid, tunggu aja ya :D

    BalasHapus