Selamat datang di Blog Karya Islami

Yaa Allah, Guide me all the way to Your Jannah...

Sabtu, 05 Maret 2011

Sebait Puisi Untuknya

                Pintu kamarnya masih tertutup rapat. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Bukan karena si empunya kamar belum bangun. Malah, dia sudah bangun sejak Subuh tadi, lalu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara merdunya. Tetapi, setelah itu tak ada suara lagi. Seolah hanya kesunyian yang mendiami kamarnya. Penasaran dengan sikap abangnya, adik perempuannya pun mengetuk dan membuka pintu kamarnya, yang kebetulan tidak dikunci itu.
                Ternyata, Fauzi sedang melongo di depan komputernya. Entahlah, dia biasa seperti itu kalau sedang hari libur. Dia biasa main game, surfing internet, atau online di Facebook. Itu untuk mengusir rasa stress dan penatnya setelah 5 hari sekolah terus. Namun, dia sudah memiliki kebiasaan baru sekarang. Di samping main game, dan online, sekarang dia sudah mulai membuat blog. Kebiasaan baru ini dia terapkan setelah guru mentoring-nya menyarankan bocah kelas 1 SMU itu untuk membuat blog. Untuk melatih skill menulis, kata mentornya tersebut.
Melihat dia hanya melongo seperti itu, biasanya dia sedang berpikir untuk membuat posting selanjutnya. Tetapi, ternyata bukan itu sebabnya. Fauzi sedang memperhatikan puisi yang sudah agak lama dia buat. Maklum, dia suka membuka-buka kembali karya-karya puisinya yang dulu, untuk sekedar menghibur jiwa ketika sedang gundah. Atau, untuk mengisi kembali jiwanya yang kosong. Lama dia memperhatikan bait-bait puisi itu. Memang, puisi itu menyimpan banyak makna untuknya.
“Bang, ini puisi abang sendiri yang buat? Bagus banget deh. Ranti baru tahu kalau Bang Fauzi jago bikin puisi, hehe”, ujar adiknya, yang sekarang kelas 2 SMP itu.
Fauzi hanya tersipu malu. Secercah senyum terbit di bibirnya. “Ah, Ranti bisa aja mujinya. Masa’ iya sebagus itu?”, tanyanya kepada adik satu-satunya itu.
“Bener deh, Bang! Ranti nggak bohong”
Komentar Ranti tadi hanya dibalas senyuman oleh Fauzi. Tak lama kemudian, Ranti keluar menuju kamar mandi. Untuk mandi tentunya. Tinggallah Fauzi sendirian di kamarnya. Bait-bait puisi yang dia pandangi sedari tadi menuntunnya untuk mengarungi kenangan masa lalunya. Tepatnya, kenangan 3 tahun yang lalu, manakala untuk pertama kalinya ia masuk SMP.
****
Sebenarnya, tak ada keinginan sama sekali pada diri Fauzi untuk masuk pesantren. Maklumlah, dia berasal dari SD Negeri, sehingga ia merasa tak begitu nyaman ketika disarankan masuk pesantren. Hanya saja, orang tuanya begitu mengharapkan Fauzi masuk pesantren. Makanya, orang tua Fauzi begitu sedih melihat Fauzi gagal masuk pesantren. Ia tidak lulus ketika dites bacaan dan hafalan Al-Qur’annya.
“Abi sama Ummi nggak usah terlalu sedih. Mungkin ini yang terbaik buat Fauzi, karena Fauzi belum lancar betul membaca Al-Qur’an. Hafalan Fauzi juga sedikit sekali. Mungkin Fauzi disuruh lebih berusaha lagi melancarkannya, tapi bukan di pesantren”, hibur Fauzi menenangkan hati kedua orang tuanya.
“Tapi kami ingin kamu belajar agama, Nak. Untuk bekal di akhirat nanti. Kalau kamu nggak paham agama, siapa yang ngedoain Abi sama Ummi kalau sudah meninggal? Begitu juga ketika kamu besar nanti, kalau kamu nggak paham agama, siapa yang bisa ngedidik dan ngasih pemahaman agama yang benar untuk anak-anakmu?”, ujar Abi kepada Fauzi. Abi memang sangat perhatian dengan anak-anaknya. Beliau ingin sekali anak-anaknya paham dengan agama, tidak terkecuali Fauzi. Namun, apa daya, Fauzi tidak berhasil masuk pesantren.
“Ya sudah, Fauzi kan bisa nih masuk SMP Negeri favorit. Nah, nanti Fauzi ikut ROHIS nya deh. Biar Fauzi bisa belajar agama, walaupun nggak masuk pesantren.”, usul Fauzi kepada kedua orang tuanya. Usul itupun menerbitkan senyuman kedua orangtuanya. Mereka pun mengangguk menerima usul Fauzi. Rasa senang pun bermekaran di hati Fauzi. “Fauzi berjanji, Fauzi akan sungguh-sungguh mendalami dan mempraktekkan ilmu agama.”
****
“Zi, hafalan ente udah nyampe mana?”, tanya Majid, salah satu sahabat karib Fauzi, suatu hari.
“Ah, baru sedikit, Jid. Ana baru mau masuk Surah Al-Mulk di juz 29”
“Wah, itu udah banyak Zi! Ana aja lagi menghafal Surah An-Naazi’aat.”
“Haha, itu juga udah banyak Jid. Dikit lagi sama kayak ana. Gimana kalo kita lomba Jid?”, tantang Fauzi.
“Ah, ente curang Zi. Hafalan ente udah lebih banyak. Tapi..., boleh deh, sebagai motivasi juga buat ana, hehe”
“Oke deh, kita liat ya, 3 tahun lagi, siapa yang lebih banyak hafalannya”
“Oke, siapa takut?”,seru Majid.
Tak terasa, UAS sudah menghadang di depan mata. Anggota ROHIS pun sering mengadakan belajar bersama. Fauzi pun dengan semangat mengikuti acara tersebut. Walaupun termasuk siswa yang cerdas di kelasnya, Fauzi enggan untuk tidak mengikuti acara itu. Alumni-alumni ROHIS pun siap untuk membantu.
Namun, pada saat inilah, seorang bocah laki-laki beranjak menuju masa remaja. Di mana pada saat itu, ‘pandangan’ mereka terhadap perempuan sudah berbeda. Hal ini secara alamiah terjadi pada remaja-remaja di manapun, tak terkecuali Fauzi.
Di hatinya sudah mulai bermunculan benih-benih cinta yang memenuhi hatinya. Dia mulai menaruh perasaan pada salah satu anggota ROHIS akhwat. Fitri namanya. Memang, di sekolah itu Fitri terkenal sebagai gadis yang sholihah, berjilbab rapi, cerdas, dan terkenal cantik pula. Namun, sesuai dengan syariat Islam yang sudah dipelajarinya, Fauzi tahu kalau dia tak boleh melampiaskan atau menyatakan perasaannya itu sebelum saatnya tiba. Apalagi mengajak untuk berkencan dan pacaran, jelas tidak boleh.
****
Dua setengah tahun sudah Fauzi mengarungi pengalaman akademisnya di SMP. Diapun sudah menjadi salah satu tonggak penting di ROHIS sekolahnya. Bahkan, hafalannya sudah mencapai tiga setengah juz, sebuah jumlah hafalan yang mengagumkan, sekaligus merupakan yang terbanyak di sekolahnya. Di ajang perlombaan, Fauzi sudah memenangi banyak lomba, seperti lomba tahfizhul-qur’an, lomba pidato, bahkan mewakili sekolahnya untuk ikut dalam Olimpiade Sains Nasional di bidang Fisika. Sayang, dia belum terpilih untuk mewakili Indonesia di pentas internasional.
Kiprahnya dalam berdakwah pun sudah bisa dibilang cukup mapan. Sekarang, dia telah memenuhi janji kepada orangtuanya untuk dapat memahami agama. Akhlaknya juga santun, ramah, dan baik.
Namun, sekarang, perasaannya pada Fitri makin menjadi-jadi. Pasalnya, Fauzi sudah menjadi temannya di Facebook, sudah punya nomor HP-nya pula. Beberapa kali dia harus bekerja keras untuk tidak tergoda mengirimi Fitri SMS. Sekedar SMS sapaan, namun Fauzi dengan susah payah menahan untuk tidak melakukan itu.
Tantangan bagi Fauzi adalah, dia harus menghalau jauh-jauh perasaan itu, agar tidak mengganggu fokusnya dalam menghadapi UN, yang sekitar 4 bulan lagi akan dilaksanakan.
Namun, diam-diam, ternyata Fitri pun juga jatuh hati pada pribadi Fauzi. Hanya saja, dia juga menyembunyikan perasaan itu. Dia hanya menceritakan perasaan itu pada teman-temannya yang dipercaya. Sayangnya, teman-teman Fitri ini sudah tak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya pada Fauzi.
****

“Zi, lo tau gak, kalo si Fitri tuh suka sama lo!”, ucap Tiara, teman sekelas Fauzi sekaligus teman dekat Fitri, tiba-tiba kepada Fauzi. Sontak Fauzi pun terdiam. Dia tak menyangka akan menerima pernyataan seperti itu. Dirinya tak siap menghadapi pernyataan itu, sehingga diapun menjadi salah tingkah. Keadaan Fauzi yang seperti itupun direspon oleh Tiara, bahwa Fauzi juga menyukai Fitri. Segera, isu itupun menyebar. Hingga Fauzi dan Fitri menjadi buah bibir di sekolah, terutama di ROHIS. Hal ini semakin memberatkan langkah Fauzi dalam menghadapi UN. Namun, dia tetap sabar dan tegar.
Fauzi pun mengadukan hal ini kepada Allah SWT. Dia perbanyak amal ibadahnya, ikhlas karena-Nya. Dia perbanyak juga membaca doa. Berharap semoga ujian ini dapat ia lewati. Dia dirikan sholat Tahajjud, memperbanyak sholat Sunnah, dan sebagainya. Semua itu agar Allah ridho dan memberi pertolongan padanya.
Akhirnya, setelah seminggu, teman-temannya pun mulai berhenti menggunjingkan mereka. Fauzipun bersyukur dan kembali fokus untuk menghadapi UN.
Tak terasa, UN pun sudah menghadang mereka. Fauzi dan teman-teman ROHIS setuju untuk melakukan belajar bersama terakhir, sebelum UN tiba. Malamnya, mereka mengadakan doa bersama, agar diberikan yang terbaik.
“Zi, gimana? Sudah siap menghadapi UN nanti?”, tanya Abi kepada Fauzi, pagi hari sebelum Fauzi berangkat.
“Insya Allah Bi, Fauzi sudah meningkatkan ibadah Fauzi, sudah berdoa, sudah belajar semaksimal mungkin. Jadi, Fauzi optimis dalam menghadapi UN.”
“Baiklah, Nak. Abi dan Ummi selalu mendoakan kamu supaya sukses UN-nya. Selamat menghadapi UN, putraku.”
Fauzi mencium tangan kedua orangtuanya. Lalu melenggang menuju arena pertarungan. Pertarungan hidup-mati antara soal UN dengan dirinya. UN vs Fauzi!
Di perjalanan, tak henti-hentinya Fauzi mengucap doa kepada Allah SWT, hingga akhirnya dia sampai di arena pertarungan itu, sebuah kelas di lantai 3. Dia masuk dengan optimisme diri yang tinggi, disertai doa dan munajat kepada Allah SWT. Diambilnya pensil layaknya mengambil pedang. Dia angkat pensil layaknya menghunus pedang. Bulatan-bulatan LJK pun menghitam digores pensil Fauzi. Diapun menumpas soal-soal itu dengan berbekal pelajaran yang sudah diberikan oleh guru-gurunya. Layaknya seorang samurai yang menyayat-nyayat musuhnya, Fauzipun tanpa ampun menghitamkan bulatan LJK. 1 jam, diapun menatap pekerjaannya bangga.
4 hari berturut-turut menumpas soal-soal UN, membuat Fauzi sedikit melupakan perasaannya pada Fitri. Dia tinggal menunggu hasil pengumuman UN, yang baru diumumkan 1 bulan kemudian. Fauzi mengisi waktu kosong itu untuk mencari-cari SMU favorit. Atau, dengan membaca artikel-artikel islami, novel atau buku-buku islami. Sesekali juga ia mengadakan mentoring dengan anggota-anggota ROHIS angkatannya.
Sebulan kemudian, pengumuman hasil jerih payahnya selama 4 hari itu akan diberikan. “Farhan Yuwono...”, ucap wali kelas Fauzi, memanggil salah satu temannya. Farhan pun maju dan menerima secarik amplop. Dia tidak membukanya dahulu, sesuai instruksi wali kelas kami. “Fauzi Hidayatullah...”. Akhirnya nama Fauzi dipanggil! Fauzi berdiri dan menerima amplop itu dengan wajah yang tenang. Dia sudah menyerahkan semua hasilnya kepada Allah SWT.
“Vinnie Novianti...”, ucap wali kelas Fauzi memanggil murid terakhir. Wali kelas mereka mengisyaratkan, pada hitungan ke-3, mereka baru membuka amplop itu. 1...2...3..! Mereka langsung dengan cepat menyobek amplop itu, dan mengeluarkan isinya. Di antara teman-teman Fauzi, ada yang langsung sujud syukur, ada yang biasa saja, ada pula yang mendadak muram. Fauzipun melihat hasil UN-nya sendiri. 37,85! Alhamdulillah, batin Fauzi. Dia langsung menghadap ke kiblat, dan sujud syukur. Fauzi meraih nilai UN tertinggi ke-2 di sekolahnya. Yang pertama diraih Fitri, akhwat yang disukainya.
****
Seminggu sudah Fauzi bersekolah di SMU. Namun, dia belum bisa untuk mengusir perasaannya terhadap Fitri sepenuhnya. Dia kadang-kadang iri terhadap pemuda-pemudi yang dengan santainya memadu kasih. Namun, segera ia tepis rasa iri itu. Dia justru bangga karena, setidaknya sampai saat itu, mampu mengalahkan hawa nafsunya.
Sampai akhirnya, Tiara memberi tahu Fauzi bahwa Fitri kesal karena tidak juga disapa oleh Fauzi. Fauzi pun menghadapi dilema. Di satu sisi, dia khawatir Fitri akan menjauh darinya, lantaran Fauzi tidak pernah mengontak atau menyapanya. Di sisi lain, dia khawatir akan terjerumus ke dalam lubang maksiat.
Akhirnya, diapun membuat sebuah keputusan bulat, yang nantinya akan tertuang dalam bait-bait puisi yang dikarangnya, untuk seorang akhwat bernama Fitri.
****
Fauzi tersadar dari lamunannya setelah dipanggil oleh Ummi. “Fauzi... sarapan dulu nih! Ummi masakin nasi goreng mengkudu kesukaanmu lho...”, panggil Ummi Fauzi.
Fauzipun bergegas menuruni tangga untuk menghampiri Ummi yang sangat disayanginya. Di layar komputernya, terpampang sebuah puisi yang sejak tadi diperhatikan Fauzi:
WAHAI UKHTI...
Wahai ukhti...
Dirimu telah mempesona diriku
Kesedihan-kesedihan hatiku seakan tersapu
Bila kuingat akan kebaikan akhlakmu...

Namun, engkau juga pasti tahu
Syaithon laknatullah tak akan berhenti merayu
Merayu hamba-hamba Ar-Rahmaan
Dengan berbagai tipu daya yang melenakan

Diamku, dinginku, cuekku padamu
Bukanlah untuk membuat hatimu pilu
Tapi, aku hanya tak ingin
Dirimu yang kucintai, terkotori oleh nafsu yang kuhembuskan

Tak apa bila kau benci padaku
Tak apa bila kau kesal padaku
Asalkan cintaku tak mengotorimu
Itu sudah cukup bagiku



~THE END~
Muhammad Jauhar Al-Fatih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar