Senyap. kamar Yusuf masih terlihat gelap, pertanda ia memang masih terlelap.
“ Suf, bangun! Sepuluh menit lagi adzan Shubuh. Kamu sudah bangun, Nak?” Panggil Bunda di depan pintu.
Tak ada jawaban, bahkan sampai perempuan yang usianya mendekati enam puluh tahun namun mesih terlihat segar itu mengetuk lebih dari tiga kali, tetap saja tak ada jawaban dari dalam. Perlahan, kecemasan mulai menyelimuti hati Bunda. Terakhir, ia mendapati hal seperti ini setahun yang lalu, dan setelah itu, selama seminggu putra bungsunya tak dapat mengajar karena harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, terserang demam berdarah.
Tak sabar, Bundapun membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci. Dan kecemasannya terjawab sudah. Terkesiap ia melihat Yusuf meringkuk di atas sajadah.
“ Ya Allah! Anakku !”
Pekik Bunda, spontan menghambur ke dalam kamar.
**
Shubuh yang syahdu. Tiga puluh menit Yusuf tak bergeming dari sajadahnya. Setelah berzikir lengkap, seperti yang biasa ia lakukan usai sholat Shubuh, serangkaian doa panjang ia panjatkan. Berkali-kali bibirnya mengucap tasbih dan tahmid. Ia telah mendapatkan kembali Shubuhnya. Sudah seminggu ia kehilangan kenikmatan sujud dan berdialog dengan Sang Khalik. Semenjak ia meminta waktu tujuh hari pada Lingga untuk melakukan sholat istikharah, bukan saja tidurnya menjadi gelisah, tapi ia kerap kesulitan untuk khusyuk beribadah.
Dan, bila tadi sang Bunda mendapatinya meringkuk di atas sajadah, hingga menjadi panik karena mengira dirinya sakit, sungguh bukan itu kejadian sebenarnya. Tadi malam, setelah sholat tahajjud dan istikharah, kembali untuk yang ketujuh kalinya dan mungkin untuk yang terakhir kali sebelum ia mengambil keputusan, Yusuf memohon diberi kemantapan hati untuk memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidup hingga akhir usianya.
Diantara mimpi-mimpi yang pernah hadir, prosentasenya masih seimbang. Yusuf masih menunggu satu malam lagi, siapapun yang Allah hadirkan dalam mimpi malam itu, dialah yang akan ia pilih. Dan, gemetar tangan Bunda membangunkannya telah memutus mimpi indahnya. Beruntung, sebelum terjaga ia bisa mengenali wajah satu-satunya yang hadir dalam mimpi terakhirnya. Dan, kini hati Yusuf sudah mantap. Wanita itulah yang akan ia pilih.
**
“ Secepat itukah ?” Yusuf tak percaya pada pendengarannya, juga matanya. Ini bukan mimpi, sangat nyata.
Dua detik berikutnya, Yusuf benar-benar menyesali ucapannya. Jujur, di dalam hatinya kini bersorak. Yes! Pertolongan Allah tidak pernah setengah-setengah. Total.
Kejutan yang sangat menyenangkan, itu yang Yusuf rasakan. Kantin sekolah menjadi saksi kebahagiaannya. Tak ada orang lain, hanya mereka berdua dan seorang ibu setengah baya yang sedang sibuk berbenah di dapur kantin.
“ Apa tidak perlu beberapa hari untuk menimbang-nimbang dulu?” sekali lagi Yusuf meyakinkan. Kali ini jelas ia hanya berbasa-basi.
“ Kalau Allah sudah menjawab do’aku, apalagi yang harus aku tunggu?!“
Kalimat yang singkat, namun begitu nikmat menyentuh gendang telinga Yusuf. Ternyata begitu sederhana akhir dari semua dilemanya. Tak lebih dari sepuluh menit, tak perlu berpanjang kata, ia sudah mendapatkan jawaban menjanjikan kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. Terima kasih ya Allah, terima kasih. Sungguh, berniaga denganmu tiadalah pernah akan merugi, Yusuf terharu.
“ Kalau begitu, hari Minggu besok, saya dan ibu akan silaturahmi ke rumahmu. Aku akan langsung melamarmu, dan kita akan segera menikah “ Yusuf menunjukan keseriusannya.
“ Secepat itukah?”
“ Kalau Allah sudah menjawab do’aku, apalagi yang harus kutunggu?!”
Bagai dunia milik berdua, merekapun tertawa bahagia. Keindahan bunga-bunga syurga memenuhi rongga dada mereka. Tak ada indah melebihi keindahan yang dirasakan dua insan yang dipertemukan dalam dan dengan cinta.
Jika bukan karena sms yang masuk ke handphone Yusuf, tak ingin rasanya obrolan itu terhenti.
Mas Yusuf, saya hanya ingin mengingatkan, satu jam lagi kita bertemu di taman. Apapun keputusanmu, saya sudah siap menerimanya. Semoga, keputusanmu adalah yang terbaik untuk kita. Salam, Lingga.
“ Maaf, ada urusan yang harus segera saya selesaikan. Mau saya antar pulang ?” Meski berat, Yusuf akhirnya berpamitan. Ada yang harus ia bicarakan dengan Lingga, hari ini juga.
“ Tidak usah, terima kasih. Nanti, kalau sudah waktunya, saya akan senang jika kemana dan dimana, selalu ditemani Mas Yusuf “
“ Tentu! Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum !”
“ Waalaikum salam!”
**
Usai sholat dzuhur, Yusuf mengganti baju kokonya dengan kaos biru muda, warna favoritnya. Tawaran Bunda untuk makan siang ia tolak dengan halus.
“ Ibu makan saja dulu. Saya harus segera sampai di taman, kasihan kalau Lingga terlalu lama menunggu”
“ Duh....sudah tak sabar rupanya, anak ibu “ Ledek Bunda. “ Ya sudah! Kamu bisa makan siang bareng Lingga, pasti lebih menyenangkan dibanding makan siang dengan perempuan tua seperti ibu “ Bunda terkekeh.
“ Saya pamit dulu, Bu!” Yusuf mencium tangan Bunda. Bukan saatnya untuk menjelaskan, untuk apa aku ingin segera sampai di taman, batin Yusuf.
Sepuluh menit kemudian, Yusuf sudah sampai di taman. Belum terlambat, hanya saja memang Lingga yang datang lebih awal. Tidak sulit bagi Yusuf untuk menemukan Lingga. Di bangku bercat biru, d tak jauh dari air mancur, tempat favorit mereka. Sebelumnya, dua kali mereka ke taman ini. Pertama, saat mereka lari-lari pagi dua minggu yang lalu. Dan terakhir Senin sore , seminggu yang lalu ,saat ia meminta waktu tujuh hari pada Lingga untuk melakukan sholat istikharah sebelum mengambil keputusan.
“ Ada salam dari ibu “ Yusuf berbasa-basi.
Ini bukan pertemuan pertama mereka, tapi rasanya lebih canggung dibanding pertama kali bertemu di perjalanan udara Denpasar –Jakarta, beberapa bulan lalu. Apakah ini akan menjadi pertemuan yang terakhir? Jelas ini hanya ada dalam benak Yusuf, sedang Lingga justru berharap sebaliknya.
Ini bukan pertemuan pertama mereka, tapi rasanya lebih canggung dibanding pertama kali bertemu di perjalanan udara Denpasar –Jakarta, beberapa bulan lalu. Apakah ini akan menjadi pertemuan yang terakhir? Jelas ini hanya ada dalam benak Yusuf, sedang Lingga justru berharap sebaliknya.
“ Wa’alikum salam. Ibu sehat kan, Mas?”
“ Alhamdulillah! “
“ Mas....” Panggil Lingga, setelah dua menit saling diam.
“ Ya!” Yusuf gugup.
“ Sudah tujuh hari aku menunggu keputusanmu. Bahkan sebenarnya lebih lama dari itu. Apakah aku bisa mendengarnya sekarang?”
“ Mm.... “ Yusuf ragu, harus dari mana ia memulai, terutama agar Lingga bisa menerima hasil istikharahnya.
“ Percayalah, Mas. Apapun keputusanmu, aku akan berlapang hati untuk menerimanya. Mas Yusuf sudah mengikuti prosedur yang benar, melakukan istikharoh untuk mendapatkan ketetapan hati dalam memilih, maka insya Allah petunjuk itulah yang terbaik untuk kita, dunia hingga akhirat “
Nyata, bahwa Lingga tak sabar ingin mendengar apa hasil istikharoh Yusuf. Dan meski bukan sekali Lingga mengatakan akan menerima apapun hasil istikharah, tetap saja tak mudah bagi Yusuf untuk mengatakan yang sebenarnya.
“ Ling... sesuai janjiku, aku telah melakukan istikharah selama tujuh hari tiada putus. Mungkin ini terlalu singkat, tapi aku rasa sudah cukup memberikan alasan yang kuat untuk aku mengambil keputusan. Selama tujuh hari, aku mendapatkan mimpi-mimpi yang akhirnya menuntunku untuk mengatakan ini. Dan, aku berharap, kita sama-sama bisa menerimanya dengan ikhlas.”
“ Inysa Allah, Mas! Katakanlah sekarang “ Lingga semakin penasaran.
“ Menurutku, lebih baik bila kita menjadi seorang sahabat !”
Sungguh, meski jauh-jauh hari Lingga sudah menyiapkan hati untuk mendengar keputusan sepahit ini, kenyataannya ia tak terlalu tegar untuk mendengarnya. Butuh beerapa menit untuk ia menata kembali keping-keping hatinya. Dan itu disadari sepenuhnya oleh Yusuf.
“ Maafkan aku, Ling...” Suara Yusuf memecah kesunyian.
“ Mas Yusuf tak perlu meminta maaf. Mas Yusuf tidak bersalah, sebagaimana Mas Yusuf tidak berkewajiban memilih saya untuk menjadi pendamping hidup Mas. Saya percaya, pilihan Allah lah yang terbaik untuk kita. Insya Allah, saya ikhlas Mas “
Ada yang tak seiring antara bibir dan mata Lingga. Bagaimanapun, jika Yusuf memiliki keberanian untuk melihat, sungguh mata biru itu kini bak langit di waktu senja.
“ Mas...”
“ Ya! ”
“ Percayalah, aku bisa menerima keputusanmu dengan lapang hati. Aku bersyukur bisa mengenal laki-laki sebaik Mas Yusuf. Maaf, sekedar agar hatiku lega, aku ingin tahu apakah berarti Mas Yusuf akan menerima kehadiran Niken kembali? “
**
“ Tidak! Saya tidak meminta Niken untuk kembali, sebagaimana saya juga tidak memilih Lingga untuk menjadi pendamping saya, Bu!”
“ Lalu, apa kurangnya Lingga? Ibu rasa, dia yang terbaik untuk kamu!”
Suasana di ruang makan sedikit menegang, paling tidak bagi Bunda, tapi Yusuf justru tenang-tenang saja.
“ Maaf, Bunda. Saya menginginkan seorang istri yang bukan saja bisa membuat saya bergairah dan betah di rumah, tapi juga menenangkan hati ketika saya di luar rumah. Tak ada larangan untuk kita memilih pasangan yang cantik, kaya, keturunan dari keluarga yang baik, namun lebih utama dari semua itu adalah pemahaman dan pengamalan agamanya juga baik. Lingga memiliki semua kriteria pertama sampai ketiga, tapi belum untuk yang keempat, yang bagi saya justru menjadi standard utama. "
" Sedangkan Niken, memang dia kembali ke Jakarta karena sedang ada masalah dengan suaminya. Mereka belum bercerai, baru sekedar pisah ranjang. Asal suaminya mau membatalkan niatnya untuk berpoligami, Niken bersedia kembali lagi. Sampai saat ini mereka masih suami istri. Dan, belum pernah sekalipun Niken mengatakan ingin kembali pada saya. Kalaupun selama ini beberapa kali saya melamunkan dia, sebenarnya itu perasaan saya saja. Bagaimanapun, Niken pernah dua tahun menempati ruang khusus di hati saya. Meski sakit menerima kenyataan bahwa dia meninggalkan saya demi laki-laki lain, namun sebenarnya saya sudah memaafkannya sejak tujuh tahun yang lalu. Dia cinta pertama saya, tapi ternyata bukan cinta terakhir saya."
" Dan, meski saya memaafkan Niken, meski belakangan kenangan bersamanya kembali hadir, sebenarnya tidak ada niat saya untuk kembali bersamanya. Kalaupun dia meminta, kesempatan kedua baginya terlanjur sirna. “ Panjang lebar Yusuf menjelaskan duduk perkaranya.
" Sedangkan Niken, memang dia kembali ke Jakarta karena sedang ada masalah dengan suaminya. Mereka belum bercerai, baru sekedar pisah ranjang. Asal suaminya mau membatalkan niatnya untuk berpoligami, Niken bersedia kembali lagi. Sampai saat ini mereka masih suami istri. Dan, belum pernah sekalipun Niken mengatakan ingin kembali pada saya. Kalaupun selama ini beberapa kali saya melamunkan dia, sebenarnya itu perasaan saya saja. Bagaimanapun, Niken pernah dua tahun menempati ruang khusus di hati saya. Meski sakit menerima kenyataan bahwa dia meninggalkan saya demi laki-laki lain, namun sebenarnya saya sudah memaafkannya sejak tujuh tahun yang lalu. Dia cinta pertama saya, tapi ternyata bukan cinta terakhir saya."
" Dan, meski saya memaafkan Niken, meski belakangan kenangan bersamanya kembali hadir, sebenarnya tidak ada niat saya untuk kembali bersamanya. Kalaupun dia meminta, kesempatan kedua baginya terlanjur sirna. “ Panjang lebar Yusuf menjelaskan duduk perkaranya.
“ Maafkan ibu, Nak. Barangkali desakan ibu agar kamu segera berumah tangga lagi, telah membuatmu tertekan. Sungguh, ibu hanya tak tega melihatmu hidup sendiri. Ibu bisa merasakan, kekosongan hidup dan ketidak seimbangan yang coba kau sembunyikan. Bedanya, bapakmu pergi karena panggilan cinta Illahi. Sama sekali ibu tak ingin membuatmu merasa bersalah hingga akhirnya kau memilih pasangan hidupmu tanpa memperhatikan perasaanmu. Kalaupun kamu belum menemukan pasangan yang cocok, tak usah memaksa. Ibu tarik semua ucapan ibu yang dulu-dulu. Ibu percaya sepenuhnya padamu. Kamu anak ibu yang membanggakan, cerdas dan berwawasan luas. Pasti kamu memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri, yang terkadang terlupakan oleh ibu yang sudah tertinggal jaman ini. “ Getar suara Bunda benar-benar terasa.
“ Ibu akan segera punya mantu baru !” Yusuf merangkul pundak Bunda.
“ Kamu jangan bercanda, anakku. Tak pernah ibu mendengar kamu menyebut nama wanita selain Lingga, dan belakangan mantan istrimu, Niken dan anaknya, Kemala. Kamu bilang, tak satupun dari keduanya kamu pilih, lalu siapa yang kamu maksudkan?”
“ Ada, Bu. Namanya Kinasih! Dia gadis ayu berkerudung biru “
“ Kinasih ?”
Yusuf tak mendengar pertanyaan Bunda. Ia terlanjur jatuh dalam lamunan. Menyebut nama gadis kerudung birunya, menjelmalah hamparan bunga-bunga syurga di hatinya.
“ Anakku, siapa Kinasih itu?” Penasaran, Bunda sekali lagi bertanya tentang siapa sosok gadis berkerudung biru yang sedemikian hebat melenakan Yusuf hingga tak mendengar pertanyaannya.
“ Siapa Kinasih itu, anakku. Apakah aku mengenalnya?” Bunda mengulang pertanyaannya sekali lagi.
Sadar dirinya melamun, tersipu Yusuf menjelaskan.
“ Mungkin ibu baru pertama mendengar namanya, tapi sebenarnya ibu pernah bertemu dengannya, paling tidak sekali waktu ibu mengantar saya ke sekolah beberapa bulan lalu sebelum berangkat ke Bali untuk mengikuti pelatihan. Kalau ibu sempat memperhatikan, ibu akan mendapati satu-satunya wanita saat itu yang memakai kerudung biru. Dialah Kinasih, staff TU SD Harapan Bangsa. “
Aneh, Yusuf sendiri merasakan keanehan ini. Bagaimana ia bisa mengingat sampai sedetail itu, padahal selama ini sekalipun ia tak pernah memperhatikan sejauh itu. Secara lengkap, Yusuf pun menceritakan semua mimpi-mimpi yang hadir semenjak ia mengerjakan shalat istikharah. Jika pada Kinasih ia hanya menceritakan sebagian, dan pada Lingga tidak merincinya sama sekali, maka pada Bunda Yusuf menceritakan semuanya.
Malam pertama Yusuf melakukan istiharah, sosok Lingga langsung hadir hingga ia menyangka bahwa Lingga lah yang Allah pilihkan untuk menjadi istrinya. Namun kesimpulan itu masih terlalu dini karena di malam kedua, justru kenangan indah bersama Nikenlah yang datang. Dan, semakin membingungkan ketika sosok Lingga, Niken dan Kamela hadir bersama-sama. Yusuf semakin tak mengerti ketika malam keempat dan kelima, secara berturut-turut, baik Lingga maupun Niken, tak hadir dalam mimpinya. Sebagai gantinya, hadir seorang gadis berkerudung biru yang sebenarnya sudah sangat akrab ia dengar sapaannya, setiap pagi. Ya, gadis berkerudung biru itu adalah Kinasih, staff baru di SD Harapan Bangsa.
Keraguan Yusuf kembali datang, ketika malam keenam justru ia tak bermimpi sama sekali, paling tidak yang berkaitan dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Kedudukan kini seimbang, baik Lingga maupun Niken, juga Kinasih yang tak pernah ia minta justru hadir dalam mimpinya. Mereka sama-sama dua kali hadir dalam mimpi, maka harapan terakhir adalah siapa yang Allah hadirkan dalam mimpi di malam ketujuh, maka dialah yang akan dipilih menjadi pendamping hidupnya. Dan, ketika Bunda menghambur ke dalam kamar sambil menjerit karena menyangka Yusuf sakit atau bahkan mungkin pingsan, itulah saat terindah Yusuf bertemu Kinasih dalam mimpi.
Keraguan Yusuf kembali datang, ketika malam keenam justru ia tak bermimpi sama sekali, paling tidak yang berkaitan dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Kedudukan kini seimbang, baik Lingga maupun Niken, juga Kinasih yang tak pernah ia minta justru hadir dalam mimpinya. Mereka sama-sama dua kali hadir dalam mimpi, maka harapan terakhir adalah siapa yang Allah hadirkan dalam mimpi di malam ketujuh, maka dialah yang akan dipilih menjadi pendamping hidupnya. Dan, ketika Bunda menghambur ke dalam kamar sambil menjerit karena menyangka Yusuf sakit atau bahkan mungkin pingsan, itulah saat terindah Yusuf bertemu Kinasih dalam mimpi.
“ Kamu tidak bisa memilih gadis yang baru kamu kenal, anakku. Bagaimana kamu tahu kalau Kinasih itu memenuhi paling tidak mendekati semua kriteria yang kamu inginkan?” Bunda mengingatkan.
“ Sebenarnya saya sudah cukup lama mengenal Kinasih, Bu. Enam bulan lalu, saat ia diterima menjadi staff TU di sekolah. Hanya saja, selama ini saya tidak berfikir bahwa sapaan ramahnya setiap hari, senyum manisnya dan tatapan teduh matanya kepada saya sebenarnya mengandung perasaan cinta yang mendalam. Entahlah, meski tak sampai trauma, tak mudah bagi saya menerima kehadiran wanita lain di hati saya. Kalaupun akhirnya ada, Lingga lah yang pertama melakukaknya, menumbuhkan perasaan cinta yang pernah tersakiti. Dan, selama ini segala kebaikan Kinasih, saya anggap tak lebih dari penghormatan junior kepada senior “
Untuk kedua kalinya, Yusuf tak mampu menahan dirinya untuk tidak larut dalam lamunan. Satu persatu, semua kejadian yang awalnya ia anggap biasa dan kebetulan saja, ia akui bahwa itulah sebenarnya sinyal-sinyal cinta untuknya. Meski Yusuf yakin tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua telah Allah atur dan tetapkan, tapi warna biru mudah kesukaannya – kebetulan – juga warna kesukaan Kinasih. Dan, pertemuan-pertemuan tak direncanakan, bahkan sering kali terjadi hanya mereka berdua tanpa ada orang lain, adalah kesempatan emas yang tak sengaja ia lewatkan. Maka, menjadi tidak mustahil bila Allah mengutus Kinasih untuk datang di tiga mimpi Yusuf, melebihi mimpinya tentang Lingga, juga Niken.
“ Ehem..! Melamun lagi kan? “
Untuk kedua kalinya pula, Bunda menarik Yusuf kembali ke alam nyata.
“ Cuma kenal saja kan, itupun sebatas di sekolah saja. Keluarga dan keseharian Kinasih di luar sekolah, apa kamu sudah tahu ?”
“ Pak Jamal, Bu. Guru kelas lima itu bertetangga dengan Kinasih. Sejauh ini ia satu-satunya guru yang saya percaya kejujuran dan sifat amanahnya. Beliau memberikan semua informasi yang saya butuhkan. Dan hasilnya, saya sukses mendapat kesanggupan dari Kinasih, tadi siang. Maaf, kalau saya baru mengatakan sekarang, kenapa tadi saya pulang agak terlambat “
“ Secepat itukah, bahkan sebelum kamu bertemu Lingga di taman? “
“ Betul, Bu. Kalau Allah sudah mengabulkan do’aku, apalagi yang harus aku tunggu “ Yusuf mengcopy kata-kata Kinasih yang sampai saat itu belum terkalahkan keindahannya oleh kalimat apapun, kecuali ayat-ayat Al Quran.
“ Saya juga sudah bilang ke Kinasih, hari Minggu besok kita akan silaturahmi kepada keluarganya. Saya akan melamarnya, dan segera mungkin menikah dengannya. Ibu, ajak Pak Dhe Sholeh untuk menemani kita ke sana “
“ Secepat itukah ?” sekali lagi Bunda terkejut.
“ Ya! Kalau Allah sudah mengabulkan do’aku, apalagi yang harus ditunggu?! “
**
“ Pak Guru...Pak Guru, tunggu dulu!”
Yusuf hafal betul, siapa pemilik suara renyah itu. Dan secara mengejutkan, bocah ayu anak dari mantan istrinya itu sudah berdiri di sampingnya.
“ Ada apa Kamela?” Selalu ada nada ramah untuk murid istimewanya ini.
“ Siapa yang tadi bareng Pak Guru ?” Seperti biasa, senyum ceria selalu menghias di wajah polosnya.
“ Yang mana ya?” Yusuf pura-pura tak mengerti siapa yang Kamela maksudkan.
“ Itu, gadis yang berkerudung warna biru “ Kali ini bukan Kamela yang menjawab, tapi Niken.
Tanpa Yusuf sadari, lima menit yang lalu Niken dan Kamela sudah datang di sekolah, duduk di bangku taman tak jauh dari tempat Yusuf memarkirkan motornya. Saat itulah, mereka melihat Yusuf berbincang akrab dengan seorang gadis berkerudung biru, yang tentu saja itu Kinasih.
“ Oh, dia Kinasih. Staff Tata Usaha di sini “ sebenarnya Yusuf memberikan jawaban ini untuk Niken, tapi sengaja ia hadapkan wajahnya pada Kamela. Jujur, tak mudah mengatakan ini di depan Niken, meskipun sebenarnya tak ada alasan untuk tak enak hati.
“ Kamela sudah mengerjakan PR kan? Sekarang simpan dulu tasnya di kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi “ Yusuf sengaja mengalihkan pembicaraan.
“ Mas, sepertinya gadis itu bukan sekedar staff TU di sini “ Niken kembali membuka pembicaraan setelah Kamela dengan ceria berlari ke dalam kelas. Sungguh, ia tak bisa menutupi bahwa ia penasaran dengan gadis yang dilihatnya akrab dengan mantan suaminya.
“ Ya, kamu benar, Nik. Dia memang staff TU di sini, dan dia …yang akan menggantikan posisi yang dulu kamu tinggalkan “
Niken terdiam. Lidahnya mendadak kelu, dan ada satu rasa aneh menyelinap di hatinya. Seandainya Yusuf mau sedikit melirik wajah mantan istrinya, pasti ia akan menemukan perubahan warna di sana.
“ Kalau kamu ada waktu, saya akan senang sekali bila Kamela kamu ajak datang ke resepsi pernikah kami, minggu depan. Anggap saja ini undangan resmi dari saya. Cukup lama juga kamu tidak bertemu ibu, barangkali beliau rindu padamu ”
“ Insya Allah “ jawab Niken lirih.
Sumber cerita: http://abisabila.blogspot.com/
bagus tih , hehehe untung dikasih linkback tuh, gabus deh keep on writing
BalasHapus